Elissa menatap gedung sekolah di depannya dengan ragu. Dia
bingung harus menuju kearah mana. Dia ingin bertanya kepada murid-murid lain
yang lewat, tapi dia tidak mempunyai cukup keberanian. Murid-murid yang lewat
disekitarnya tidak pernah ada yang datang sendiri, selalu berkelompok. Entah
tiga orang, empat orang, lima orang, bahkan lebih.
Elissa menghembuskan napas panjang. Yang harus dia lakukan
hanya masuk dan cari ruang Tata Usaha untuk mencari kelasnya. Dia tidak perlu
bertanya. Dia hanya perlu mencarinya sendiri. Elissa yakin ruang Tata Usaha ada
di lantai satu.
Ketika Elissa mulai melangkahkan kakinya kearah gerbang, ada
sebuah mobil yang berhenti disampingnya. Dia secara langsung berhenti karena
terkejut. Seorang gadis keluar dari mobil tersebut dan berjalan kearah sisi
pengemudi. Pengemudi menurunkan kaca jendela mobil. Ternyata si pengemudi
adalah laki-laki paruh baya. Laki-laki paruh baya itu tersenyum pada gadis itu,
“Selamat bersenang-senang di hari pertamamu, sayang.”
Gadis itu mengerucutkan bibirnya, “Bagaimana aku bisa
bersenang-senang, Ayah? Aku takkan mendapat teman di sekolah baru.”
Laki-laki paruh baya yang ternyata Ayah dari gadis itu
tersenyum menenangkan, “Kau pasti akan mendapat satu atau dua teman di hari
pertamamu. Ayah yakin.” Kemudian laki-laki paruh baya itu mengacak-acak rambut
poni gadis itu, “Telepon Ayah kalau kau butuh bantuan. Ayah harus segera
berangkat ke kantor.”
Sang gadis mengangguk sambil tersenyum, “Ok.” Kemudian
laki-laki paruh baya itu menutup kaca jendela mobilnya, dan melaju pergi.
Gadis itu membalikkan badannya dan menghadap tepat didepan
Elissa. Elissa tersentak. Dia baru sadar kalau dari tadi dia memperhatikan
interaksi antara Ayah dan anak itu. Gadis itu menatap Elissa dengan bingung.
Kemudian gadis itu melihat kearah gedung sekolah dan menghela napas kasar.
Gadis itu berjalan dengan perlahan menuju ke gerbang sekolah.
Elissa kemudian mendapat pencerahan di otaknya. Gadis itu
juga murid baru sama sepertinya. Elissa tersenyum lebar, kemudian melangkah mengejar
langkah gadis itu. Elissa berhasil menyamai langkahnya, tapi dia masih
menyimpan kegugupan kepada orang baru. Dia harus memberanikan diri, bisa-bisa
dia tidak mempunyai teman satu tahun ke depan.
“Mmm... aku tidak sengaja mendengar apa yang kau dan ayahmu
ucapkan tadi.” Elissa memulai percakapan. Gadis itu berhenti dan membuat Elissa
berhenti juga. Gadis itu menatap Elissa dengan kening berkerut. “Aku Elissa.
Aku juga anak baru disini. Aku... juga membutuhkan teman untuk mengatasi hari
pertamaku yang canggung di sekolah.” Ucapnya dengan gugup.
Gadis itu masih menatap Elissa dengan kening berkerut. Tapi
kemudian, gadis itu menyeringai senang. Lalu melompat kecil, dan memeluk Elissa
dengan erat. Sekarang giliran Elissa yang mengernyitkan keningnya. Gadis itu
melepaskan pelukannya dan mengulurkan tangannya. “Aku Florence. Kau bisa
memanggilku Flo.”
Elissa membalas uluran tangan Flo, “Oh ya... salam kenal Flo.
Aku Elissa.” Ucap Elissa gugup. Dia benar-benar pribadi yang susah berbaur
dengan orang baru.
Flo tertawa. “Kau sudah menyebutkan namamu tadi, Elissa.”
Elissa meringis malu. “Ayo kita cari ruang Tata Usaha! Aku berharap kita satu
kelas. Kau adalah teman pertamaku.” Ucap Flo dengan semangat sambil menarik
tangan Elissa. Elissa mengikuti Flo dengan patuh.
***
Elissa berjalan dengan canggung disamping Flo. Entah kenapa
dia merasa diperhatikan beberapa murid-murid di koridor sekolah.
“Hey Elissa...” Panggil Flo dengan berbisik.
Elissa mendongakkan kepalanya sedikit karena Flo memang lebih
tinggi darinya. “Ya?” Jawab Elissa dengan berbisik pula.
“Apa ada yang aneh dari penampilanku?” Tanyanya masih dengan
suara pelan.
Elissa mengernyitkan keningnya sebentar, lalu menggeleng.
Menurut Elissa penampilan Flo sangatlah cantik. Rambut merah yang bergelombang
alami sangat indah dipandang. Berbeda dengan rambutnya yang berwarna coklat
membosankan. Dan tinggi Flo yang akan selalu membuat Elissa iri.
“Lalu, mengapa anak-anak disini seperti menghindari kita?
Maksudku tak ada yang aneh dengan penampilanmu, dan katamu tadi tak ada yang
aneh dengan penampilanku. Tapi aku merasa diperhatikan. Dan anak-anak di
koridor ini seperti menghindar.” Flo menjelaskan keresahannya.
Nah, Elissa sebenarnya juga merasakan hal yang sama seperti
Flo. Tapi Elissa hanya menggelengkan kepalanya pertanda dia tak tahu apa-apa.
***
Mereka berdua sampai di depan ruang Tata Usaha. Flo mendorong
Elissa masuk. “Kau duluan ya yang berjalan. Aku takut.” Ucap Flo sambil
terkikik geli. Elissa hanya mendengus dan menghampiri meja salah satu guru
disana.
“Selamat pagi, Sir. Kami berdua anak pindahan disini.” Sapa
Elissa.
“Oh, ya selamat pagi. Yang mana Miss Hanrey dan yang mana
Miss Andromeda? Saya George Bennet.” Tanya guru tersebut tersenyum ramah sambil
mengenalkan dirinya.
“Saya Hanrey, Sir.” Jawab Flo.
“Elissa saja, Sir. Andromeda bukan nama keluarga.” Jawab
Elissa sambil tersenyum kikuk.
“Baiklah. Miss Elissa kau di kelas A, dan Miss Hanrey kau
dikelas E. Silahkan bersenang-senang dikelas baru kalian.” Ucap Mr. Bennet.
***
Elissa dan Flo keluar dari ruang Tata Usaha. Flo berdiri
dengan gontai dan Elissa mendesah sedih. “Aku tak tau kau sepintar itu,
Elissa.” Ucap Flo dengan suara sedih. Elissa menatap Flo bingung. Pintar dari
mana? Selama ini Elissa adalah murid yang biasa-biasa saja, cenderung pasif.
Mendapat nilai lebih dari 60 pun sudah bersyukur.
“Aku tidak pintar.” Ucap Elissa sambil mengernyitkan
keningnya. Dia bingung apa maksud kata-kata Flo.
Flo mendesah. “Kau tak usah berbohong, Elissa. Kalau kau tak
pintar, kau tak mungkin masuk ke kelas A. Yang aku tahu, kelas A tak pernah
menerima anak baru. Kalau kau sampai dapat dikelas itu, berarti kau... jenius!”
Flo mendesah lagi. Lalu tiba-tiba dia menghentakkan kakinya, “Aku tak habis
pikir, teman pertamaku adalah orang jenius. Aku tak pernah bergaul dengan
orang-orang yang otaknya diatas rata-rata.”
“Flo, aku serius. Aku bukan anak pintar. Aku saja tak pernah
belajar kalau bukan karena tugas atau besoknya ulangan. Mendapat nilai 70 di
ulangan-ulanganku tanpa mencontek atau bekerja sama dengan temanku, aku pasti sudah
melompat-lompat riang. Aku bukan anak pintar, apalagi jenius!” Ucap Elissa
dengan tegas.
Flo menyipitkan matanya mencari kebohongan dimata Elissa.
Tapi tidak ada. Elissa serius dengan ucapannya. “Kau serius, Elissa? Lalu
mengapa kau ditempatkan dikelas A?” Tanya Flo bingung.
“Apa anak-anak di kelas tersebut sangat pintar?” Tanya Elissa
sambil mulai berjalan kearah kelas mereka berdua yang sama-sama ada dilantai
dua.
Flo mengikuti langkah Elissa, “Ya. Kelas A itu anaknya
pintar-pintar dan berbeda.”
“Berbeda?” Elissa menatap Flo bingung.
“Menurut sepupuku yang sekolah disini, mereka itu berbeda.
Berbeda dalam arti yang... sulit diraih. Mereka seperti sangat dihargai,
dihormati, dan ditakuti disekolah ini. Menurut sepupuku, anak-anak kelas A seperti
penguasa sekolah. Banyak anak-anak dari kelas lain yang jatuh cinta dan
mengincar anak-anak kelas A untuk dijadikan kekasih, entah itu laki-laki atau
perempuan. Tapi anak kelas A seperti... berbeda kasta dengan anak-anak kelas
lain. Anak kelas A seperti tak mau bergaul dengan anak-anak kelas lain. Mereka
seperti mempunyai dunianya sendiri.”
Elissa membelalakkan matanya kaget. “Mengapa aku ada dikelas
seperti itu?” Tanya Elissa sedih. “Bisa-bisa aku tidak mempunyai teman dikelas
tersebut.” Elissa takut kehidupan sosialnya tidak berjalan lancar.
“Kau bisa ke kelasku kapan saja, Elissa. Kelas kita ada di
koridor yang sama. Bahkan mungkin, kau yang tak akan mau berteman denganku lagi.”
Ucap Flo.
“Tidak mungkin, Flo.” Elissa mengatakannya dengan tegas.
Flo mengangkat bahunya tidak peduli. Tapi di dalam hatinya
dia berharap Elissa memegang ucapannya. “Ayo kita ke kelas!” Ajak Flo sambil
menarik tangan Elissa.
***
Elissa terus saja berjalan dengan gugup di koridor. Dia baru
saja melewati kelas C. Dia merasa diperhatikan. Tidak. Dia memang diperhatikan.
Sejak dia berjalan mendekat ke kelas C, dia diperhatikan. Ada yang melihatnya
dengan sembunyi-sembunyi dan ada yang terang-terangan. Dan semakin Elissa
mendekati kelasnya, dia semakin diperhatikan. Begitu beberapa langkah lagi dia
melewati kelas B, tiba-tiba ada murid perempuan yang berlari keluar dari kelas
dan langsung menabraknya. Tidak sampai membuat Elissa terjatuh, tapi dia cukup
kaget karena murid perempuan tersebut.
Tapi yang aneh, murid-murid di sekitar kelas B ini seakan
lebih kaget dari Elissa. Suara pekikan mereka terdengar. Bahkan ada yang
membelalakkan matanya. Dan ada pula yang mendesah frustasi.
“Ma.... maafkan saya.” Ucap murid perempuan tadi dengan suara
lemah.
Elissa melihat kearah murid perempuan tadi, kemudian Elissa
mengernyitkan keningnya bingung, mengapa gadis ini seperti takut padanya?
“Ya. Tidak masalah.” Elissa menjawab dengan gugup. Jantungnya
berpacu dengan cepat karena dia sadar dia menjadi pusat perhatian murid-murid
yang ada di koridor dekat kelas B.
Elissa melanjutkan langkah canggungnya dengan wajah menunduk.
Elissa malu diperhatikan seperti ini. Murid-murid yang tadinya sempat bergerak
mendekat kearah Elissa dan gadis tadi, sekarang mundur dengan cepat begitu
Elissa berjalan.
Mendekati kelas A, Elissa semakin tak percaya diri. Di luar
kelas A tidak ada murid-murid seperti di kelas B, C, D, dan E tadi. Ini berarti
murid-murid kelas A bukan anak-anak yang senang menghabiskan waktu di luar
kelas. Elissa mendesah frustasi. Bisa dijamin, Elissa tak akan cocok dengan
kelas ini.
***
Elissa sekarang ada didepan pintu kelas yang tertutup rapat.
Dia sedang mengumpulkan keberanian dan rasa percaya dirinya. Detak jantungnya
dapat ia rasakan begitu cepat dan tak terkendali. Diam-diam dia mengutuk pihak
sekolah yang tidak memasukan dia ke kelas yang sama dengan Flo. Elissa menarik
napas, lalu mengeluarkannya, begitu terus sampai dia merasa tenang. Dia
mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu kelas. Tapi tangannya berhenti di
udara. Elissa menggigit bibirnya, karena terlalu frustasi dengan sikapnya
sendiri.
Lalu ada yang menepuk pundaknya pelan. Elissa tersentak dan
langsung membalikkan badannya. Begitu Elissa melihat siapa yang menepuk
pundaknya, Elissa langsung mundur dan menunduk sedikit untuk memberi hormat.
Elissa yakin laki-laki dewasa didepannya ini adalah guru. Dilihat dari cara
beliau berpakaian dan buku-buku yang dibawanya.
“Kau Elissa Andromeda?” Tanya beliau dengan suaranya yang
penuh wibawa.
“Ya, Sir.” Jawab Elissa.
“Saya, Ethan Davis. Guru matematika kelas A dan juga wali
kelas. Mengapa kau tidak masuk ke dalam?” Tanya Mr. Davis yang Elissa perkirakan
berumur awal 30-an.
“Sa... saya sedikit takut, Sir.” Ucap Elissa pelan sambil
menunduk.
“Kau sama sekali tak perlu memiliki perasaan seperti itu,
Elissa. Ayo, ikuti saya ke dalam.” Ucap Mr. Davis yang membuat Elissa meringis
malu.
Mr. Davis membuka pintu kelas dan berjalan ke mejanya. Elissa
mengikuti Mr. Davis dengan kepala menunduk. Elissa memasang pendengarannya
dengan baik, dia ingin menelaah bagaimana suasana kelas ini. Sepi. Tenang.
Menakutkan. Tiga hal yang muncul berurutan di pikiran Elissa.
“Selamat pagi anak-anak, ini adalah anak baru yang akan
menjadi bagian dari kita.” Mr. Davis menyapa murid-murid kelas A. “Silahkan
perkenalkan dirimu.” Lanjut Mr. Davis sambil menepuk pundak Elissa. Elissa
mengambil napas panjang, lalu mendongak dengan pelan. Dan... Elissa mematung
begitu melihat murid-murid kelas A yang akan menjadi teman-teman sekelasnya
selama satu tahun kedepan. Dia tidak mau ada di kelas ini!