Selasa, 04 Agustus 2015

Catatan Pribadi #3 -Promise To The Moon-

Hai. Saya datang sama cerita terbaru judulnya Promise To The Moon. Cerita ini bergenre Werewolf. Kenapa? Karena kalian tau dari postingan di blog ini, kalau saya penggemar bacaan bergenre fantasy. Dan Werewolf menarik perhatian saya karena sifat sang Alpha yang kalau kita telaah dari novel-novel bergenre Werewolf adalah sama. Posesif dan Protektif terhadap Mate atau pasangan hidupnya. Nah, karena udah keseringan konsumsi novel-novel genre ini di Wattpad (Situs Novel Online), terbesit lah ide untuk buat genre ini. Dan tadi udah saya publish satu part. Sebenarnya saya publish cerita ini juga di akun wattpad, nah disana udah ada dua part. Dan mungkin akan lebih update di Wattpad daripada di blog. Berharap bisa nyelesain cerita ini dengan konsisten karena dapet respon positif dari pembaca di Wattpad.

Wattpad: https://www.wattpad.com/user/kirawal

Ok. Cukup Sekian. Silahkan dibaca ceritanya. Boleh di blog ini, boleh juga kasih vote dan komen nya di Wattpad.

Thanks.
Love, Kiki.

Promise To The Moon - A Class


Elissa menatap gedung sekolah di depannya dengan ragu. Dia bingung harus menuju kearah mana. Dia ingin bertanya kepada murid-murid lain yang lewat, tapi dia tidak mempunyai cukup keberanian. Murid-murid yang lewat disekitarnya tidak pernah ada yang datang sendiri, selalu berkelompok. Entah tiga orang, empat orang, lima orang, bahkan lebih.

Elissa menghembuskan napas panjang. Yang harus dia lakukan hanya masuk dan cari ruang Tata Usaha untuk mencari kelasnya. Dia tidak perlu bertanya. Dia hanya perlu mencarinya sendiri. Elissa yakin ruang Tata Usaha ada di lantai satu.

Ketika Elissa mulai melangkahkan kakinya kearah gerbang, ada sebuah mobil yang berhenti disampingnya. Dia secara langsung berhenti karena terkejut. Seorang gadis keluar dari mobil tersebut dan berjalan kearah sisi pengemudi. Pengemudi menurunkan kaca jendela mobil. Ternyata si pengemudi adalah laki-laki paruh baya. Laki-laki paruh baya itu tersenyum pada gadis itu, “Selamat bersenang-senang di hari pertamamu, sayang.”

Gadis itu mengerucutkan bibirnya, “Bagaimana aku bisa bersenang-senang, Ayah? Aku takkan mendapat teman di sekolah baru.”

Laki-laki paruh baya yang ternyata Ayah dari gadis itu tersenyum menenangkan, “Kau pasti akan mendapat satu atau dua teman di hari pertamamu. Ayah yakin.” Kemudian laki-laki paruh baya itu mengacak-acak rambut poni gadis itu, “Telepon Ayah kalau kau butuh bantuan. Ayah harus segera berangkat ke kantor.”

Sang gadis mengangguk sambil tersenyum, “Ok.” Kemudian laki-laki paruh baya itu menutup kaca jendela mobilnya, dan melaju pergi.

Gadis itu membalikkan badannya dan menghadap tepat didepan Elissa. Elissa tersentak. Dia baru sadar kalau dari tadi dia memperhatikan interaksi antara Ayah dan anak itu. Gadis itu menatap Elissa dengan bingung. Kemudian gadis itu melihat kearah gedung sekolah dan menghela napas kasar. Gadis itu berjalan dengan perlahan menuju ke gerbang sekolah.

Elissa kemudian mendapat pencerahan di otaknya. Gadis itu juga murid baru sama sepertinya. Elissa tersenyum lebar, kemudian melangkah mengejar langkah gadis itu. Elissa berhasil menyamai langkahnya, tapi dia masih menyimpan kegugupan kepada orang baru. Dia harus memberanikan diri, bisa-bisa dia tidak mempunyai teman satu tahun ke depan.

“Mmm... aku tidak sengaja mendengar apa yang kau dan ayahmu ucapkan tadi.” Elissa memulai percakapan. Gadis itu berhenti dan membuat Elissa berhenti juga. Gadis itu menatap Elissa dengan kening berkerut. “Aku Elissa. Aku juga anak baru disini. Aku... juga membutuhkan teman untuk mengatasi hari pertamaku yang canggung di sekolah.” Ucapnya dengan gugup.

Gadis itu masih menatap Elissa dengan kening berkerut. Tapi kemudian, gadis itu menyeringai senang. Lalu melompat kecil, dan memeluk Elissa dengan erat. Sekarang giliran Elissa yang mengernyitkan keningnya. Gadis itu melepaskan pelukannya dan mengulurkan tangannya. “Aku Florence. Kau bisa memanggilku Flo.”

Elissa membalas uluran tangan Flo, “Oh ya... salam kenal Flo. Aku Elissa.” Ucap Elissa gugup. Dia benar-benar pribadi yang susah berbaur dengan orang baru.

Flo tertawa. “Kau sudah menyebutkan namamu tadi, Elissa.” Elissa meringis malu. “Ayo kita cari ruang Tata Usaha! Aku berharap kita satu kelas. Kau adalah teman pertamaku.” Ucap Flo dengan semangat sambil menarik tangan Elissa. Elissa mengikuti Flo dengan patuh.

***

Elissa berjalan dengan canggung disamping Flo. Entah kenapa dia merasa diperhatikan beberapa murid-murid di koridor sekolah.

“Hey Elissa...” Panggil Flo dengan berbisik.

Elissa mendongakkan kepalanya sedikit karena Flo memang lebih tinggi darinya. “Ya?” Jawab Elissa dengan berbisik pula.

“Apa ada yang aneh dari penampilanku?” Tanyanya masih dengan suara pelan.

Elissa mengernyitkan keningnya sebentar, lalu menggeleng. Menurut Elissa penampilan Flo sangatlah cantik. Rambut merah yang bergelombang alami sangat indah dipandang. Berbeda dengan rambutnya yang berwarna coklat membosankan. Dan tinggi Flo yang akan selalu membuat Elissa iri.

“Lalu, mengapa anak-anak disini seperti menghindari kita? Maksudku tak ada yang aneh dengan penampilanmu, dan katamu tadi tak ada yang aneh dengan penampilanku. Tapi aku merasa diperhatikan. Dan anak-anak di koridor ini seperti menghindar.” Flo menjelaskan keresahannya.

Nah, Elissa sebenarnya juga merasakan hal yang sama seperti Flo. Tapi Elissa hanya menggelengkan kepalanya pertanda dia tak tahu apa-apa.

***

Mereka berdua sampai di depan ruang Tata Usaha. Flo mendorong Elissa masuk. “Kau duluan ya yang berjalan. Aku takut.” Ucap Flo sambil terkikik geli. Elissa hanya mendengus dan menghampiri meja salah satu guru disana.

“Selamat pagi, Sir. Kami berdua anak pindahan disini.” Sapa Elissa.

“Oh, ya selamat pagi. Yang mana Miss Hanrey dan yang mana Miss Andromeda? Saya George Bennet.” Tanya guru tersebut tersenyum ramah sambil mengenalkan dirinya.

“Saya Hanrey, Sir.” Jawab Flo.

“Elissa saja, Sir. Andromeda bukan nama keluarga.” Jawab Elissa sambil tersenyum kikuk.

“Baiklah. Miss Elissa kau di kelas A, dan Miss Hanrey kau dikelas E. Silahkan bersenang-senang dikelas baru kalian.” Ucap Mr. Bennet.

***

Elissa dan Flo keluar dari ruang Tata Usaha. Flo berdiri dengan gontai dan Elissa mendesah sedih. “Aku tak tau kau sepintar itu, Elissa.” Ucap Flo dengan suara sedih. Elissa menatap Flo bingung. Pintar dari mana? Selama ini Elissa adalah murid yang biasa-biasa saja, cenderung pasif. Mendapat nilai lebih dari 60 pun sudah bersyukur.

“Aku tidak pintar.” Ucap Elissa sambil mengernyitkan keningnya. Dia bingung apa maksud kata-kata Flo.

Flo mendesah. “Kau tak usah berbohong, Elissa. Kalau kau tak pintar, kau tak mungkin masuk ke kelas A. Yang aku tahu, kelas A tak pernah menerima anak baru. Kalau kau sampai dapat dikelas itu, berarti kau... jenius!” Flo mendesah lagi. Lalu tiba-tiba dia menghentakkan kakinya, “Aku tak habis pikir, teman pertamaku adalah orang jenius. Aku tak pernah bergaul dengan orang-orang yang otaknya diatas rata-rata.”

“Flo, aku serius. Aku bukan anak pintar. Aku saja tak pernah belajar kalau bukan karena tugas atau besoknya ulangan. Mendapat nilai 70 di ulangan-ulanganku tanpa mencontek atau bekerja sama dengan temanku, aku pasti sudah melompat-lompat riang. Aku bukan anak pintar, apalagi jenius!” Ucap Elissa dengan tegas.

Flo menyipitkan matanya mencari kebohongan dimata Elissa. Tapi tidak ada. Elissa serius dengan ucapannya. “Kau serius, Elissa? Lalu mengapa kau ditempatkan dikelas A?” Tanya Flo bingung.

“Apa anak-anak di kelas tersebut sangat pintar?” Tanya Elissa sambil mulai berjalan kearah kelas mereka berdua yang sama-sama ada dilantai dua.

Flo mengikuti langkah Elissa, “Ya. Kelas A itu anaknya pintar-pintar dan berbeda.”

“Berbeda?” Elissa menatap Flo bingung.

“Menurut sepupuku yang sekolah disini, mereka itu berbeda. Berbeda dalam arti yang... sulit diraih. Mereka seperti sangat dihargai, dihormati, dan ditakuti disekolah ini. Menurut sepupuku, anak-anak kelas A seperti penguasa sekolah. Banyak anak-anak dari kelas lain yang jatuh cinta dan mengincar anak-anak kelas A untuk dijadikan kekasih, entah itu laki-laki atau perempuan. Tapi anak kelas A seperti... berbeda kasta dengan anak-anak kelas lain. Anak kelas A seperti tak mau bergaul dengan anak-anak kelas lain. Mereka seperti mempunyai dunianya sendiri.”

Elissa membelalakkan matanya kaget. “Mengapa aku ada dikelas seperti itu?” Tanya Elissa sedih. “Bisa-bisa aku tidak mempunyai teman dikelas tersebut.” Elissa takut kehidupan sosialnya tidak berjalan lancar.

“Kau bisa ke kelasku kapan saja, Elissa. Kelas kita ada di koridor yang sama. Bahkan mungkin, kau yang tak akan mau berteman denganku lagi.” Ucap Flo.

“Tidak mungkin, Flo.” Elissa mengatakannya dengan tegas.

Flo mengangkat bahunya tidak peduli. Tapi di dalam hatinya dia berharap Elissa memegang ucapannya. “Ayo kita ke kelas!” Ajak Flo sambil menarik tangan Elissa.

***

Elissa terus saja berjalan dengan gugup di koridor. Dia baru saja melewati kelas C. Dia merasa diperhatikan. Tidak. Dia memang diperhatikan. Sejak dia berjalan mendekat ke kelas C, dia diperhatikan. Ada yang melihatnya dengan sembunyi-sembunyi dan ada yang terang-terangan. Dan semakin Elissa mendekati kelasnya, dia semakin diperhatikan. Begitu beberapa langkah lagi dia melewati kelas B, tiba-tiba ada murid perempuan yang berlari keluar dari kelas dan langsung menabraknya. Tidak sampai membuat Elissa terjatuh, tapi dia cukup kaget karena murid perempuan tersebut.

Tapi yang aneh, murid-murid di sekitar kelas B ini seakan lebih kaget dari Elissa. Suara pekikan mereka terdengar. Bahkan ada yang membelalakkan matanya. Dan ada pula yang mendesah frustasi.

“Ma.... maafkan saya.” Ucap murid perempuan tadi dengan suara lemah.
Elissa melihat kearah murid perempuan tadi, kemudian Elissa mengernyitkan keningnya bingung, mengapa gadis ini seperti takut padanya?

“Ya. Tidak masalah.” Elissa menjawab dengan gugup. Jantungnya berpacu dengan cepat karena dia sadar dia menjadi pusat perhatian murid-murid yang ada di koridor dekat kelas B.
Elissa melanjutkan langkah canggungnya dengan wajah menunduk. Elissa malu diperhatikan seperti ini. Murid-murid yang tadinya sempat bergerak mendekat kearah Elissa dan gadis tadi, sekarang mundur dengan cepat begitu Elissa berjalan.

Mendekati kelas A, Elissa semakin tak percaya diri. Di luar kelas A tidak ada murid-murid seperti di kelas B, C, D, dan E tadi. Ini berarti murid-murid kelas A bukan anak-anak yang senang menghabiskan waktu di luar kelas. Elissa mendesah frustasi. Bisa dijamin, Elissa tak akan cocok dengan kelas ini.

***

Elissa sekarang ada didepan pintu kelas yang tertutup rapat. Dia sedang mengumpulkan keberanian dan rasa percaya dirinya. Detak jantungnya dapat ia rasakan begitu cepat dan tak terkendali. Diam-diam dia mengutuk pihak sekolah yang tidak memasukan dia ke kelas yang sama dengan Flo. Elissa menarik napas, lalu mengeluarkannya, begitu terus sampai dia merasa tenang. Dia mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu kelas. Tapi tangannya berhenti di udara. Elissa menggigit bibirnya, karena terlalu frustasi dengan sikapnya sendiri.

Lalu ada yang menepuk pundaknya pelan. Elissa tersentak dan langsung membalikkan badannya. Begitu Elissa melihat siapa yang menepuk pundaknya, Elissa langsung mundur dan menunduk sedikit untuk memberi hormat. Elissa yakin laki-laki dewasa didepannya ini adalah guru. Dilihat dari cara beliau berpakaian dan buku-buku yang dibawanya.

“Kau Elissa Andromeda?” Tanya beliau dengan suaranya yang penuh wibawa.

“Ya, Sir.” Jawab Elissa.

“Saya, Ethan Davis. Guru matematika kelas A dan juga wali kelas. Mengapa kau tidak masuk ke dalam?” Tanya Mr. Davis yang Elissa perkirakan berumur awal 30-an.

“Sa... saya sedikit takut, Sir.” Ucap Elissa pelan sambil menunduk.

“Kau sama sekali tak perlu memiliki perasaan seperti itu, Elissa. Ayo, ikuti saya ke dalam.” Ucap Mr. Davis yang membuat Elissa meringis malu.

Mr. Davis membuka pintu kelas dan berjalan ke mejanya. Elissa mengikuti Mr. Davis dengan kepala menunduk. Elissa memasang pendengarannya dengan baik, dia ingin menelaah bagaimana suasana kelas ini. Sepi. Tenang. Menakutkan. Tiga hal yang muncul berurutan di pikiran Elissa.

“Selamat pagi anak-anak, ini adalah anak baru yang akan menjadi bagian dari kita.” Mr. Davis menyapa murid-murid kelas A. “Silahkan perkenalkan dirimu.” Lanjut Mr. Davis sambil menepuk pundak Elissa. Elissa mengambil napas panjang, lalu mendongak dengan pelan. Dan... Elissa mematung begitu melihat murid-murid kelas A yang akan menjadi teman-teman sekelasnya selama satu tahun kedepan. Dia tidak mau ada di kelas ini!

Promise To The Moon - Sinopsis


Sepasang mata biru milik pemuda itu terus memperhatikan dengan tajam gadis yang berdiri gugup didepan kelasnya. Dia menghirup aroma memabukkan yang ada disekelilingnya ketika gadis itu memasuki kelas ini. Dengan sekuat tenaga dia menekan keinginan kuat untuk menarik gadis tersebut ke dalam pelukannya. Mengelus rambut coklat panjang indahnya yang tergerai lembut, menyentuh pipinya yang memerah, mengecup keningnya, pipinya, hidungnya, dan... bibirnya. Dia yakin bibir merah muda itu pasti terasa manis.

Kemudian pemuda itu menggeram. Geraman pelan yang keluar karena pikiran akan apa yang akan dia lakukan bersama gadisnya. Ya. Gadisnya, miliknya! Sekali lagi, geraman tidak sabar muncul keluar dari dirinya begitu melihat wajah gadisnya yang mendongak dan mata berwarna coklat yang begitu menenangkan.

“Tenanglah! Kita harus perlahan! Dia akan takut jika kita berbuat gegabah!”

Pemuda itu tersenyum tipis. Namun, tekad kuat terpancar di matanya. Gadis itu miliknya. Elissa Andromeda milik Andrew Alexander!