Kamis, 16 Juni 2016

Peran dan Perhatian Pemerintah Terhadap Anak Terlantar

Sumber: Google Images
ABSTRAK
Anak-anak merupakan harapan bangsa untuk menjadikan Negara Indonesia lebih maju di masa depan. Setiap anak berhak mendapatkan hak dalam pendidikan, mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan kebahagiaan. Namun, sekarang ada begitu banyak anak-anak yang tidak mendapatkan haknya karena hidup dengan terlantar. Anak terlantar ini seharusnya mendapat perlindungan dari negara sesuai dengan pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Kurangnya tindakan nyata dari pemerintah dalam menangani anak-anak terlantar ini membuat jumlahnya terus-menerus bertambah dari waktu ke waktu.

Kata Kunci :Anak terlantar, Pemerintah, Pendidikan

Setiap manusia membutuhkan manusia yang lainnya untuk saling bersosialisasi. Tidak ada seorangpun yang mampu hidup sendirian. Tanpa bantuan individu yang lain, manusia tidak akan dapat berjalan dengan tegak. Dengan adanya bantuan orang lain, manusia dapat berkomunikasi dan dapat mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya. Manusia memiliki perbedaan pada jenis kelamin, suku, bangsa, dan warna kulitnya. Selain itu, juga dalam kehidupan ekonomi yang manusia alami. Ada manusia yang hidup serba berkecukupan dan ada pula manusia yang hidup serba kekurangan. Manusia yang hidup serba kekurangan, antara lain manusia yang berada dalam keadaan fakir, miskin, dan terlantar.
Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdapat salah satu cita-cita bangsa yang digagas oleh para pendiri bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak.Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pada Pasal 34 ayat (1).
Anak-anak adalah suatu harapan bangsa untuk menjadikan Negara Indonesia lebih maju pada masa yang akan datang. Sudah seharusnya anak-anak mendapatkan pendidikan yang layak karena semakin tinggi kualitas pendidikan yang mereka capai, akan semakin berguna pula mereka bagi masa depan negara Indonesia. Namun, pada kenyataannya banyak anak terlantar yang tidak mengenyam bangku pendidikan yang semestinya mereka dapatkan.
Definisi dari anak jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan aktivitas untuk mendapatkan uang untuk mempertahankan hidupnya yang terkadang mendapat tekanan fisik atau mental dari lingkunganya (Suyanto, 2010: 186-187).
Hak asasi warga negara atas hak mendapatkan pendidikan seharusnya diterapkan secara progresif. Teori hak asasi manusia kontemporer menjelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dalam menciptakan kewajiban negara agar terpenuhi hak atas pendidikan melalui tindakan-tindakan langsung (Alston, 1992: 473).
Kebanyakan ketentuan menetapkan beberapa hal sebagai kewajiban atas hasil, yaitu sebagai berikut (Nowak, 2001: 273).
1. Pendidikan dasar seharusnya bebas dan wajib bagi semua orang.
2. Pendidikan lanjutan seharusnya tersedia dan terjangkau untuk semua orang; disamping itu pendidikan yang bebas biaya untuk orang-orang yang kurang mampu hendaknya dilakukan secara progresif.
3. Pendidikan tinggi seharusnya dapat dijangkau oleh semua orang dilihat berdasarkan kemampuannya; pendidikan yang bebas biaya hendaknya diupayakan secara khusus.
4. Pendidikan dasar seharusnya dikhususkan pelaksanaannya untuk orang-orang yang tidak mendapatkan pendidikan dasar yang lengkap.
5. Berbagai program pendidikan khusus hendaknya diadakan bagi para disable.
6. Penumpasan buta huruf dan kebodohan.
Dalam Deklarasi Universal HAM Pasal 1, menyatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan seharusnya diselenggarakan secara gratis tanpa biaya, sekurang-kurangnya pada tingkat dasar. Di samping itu, pendidikan dasar semestinya bersifat wajib untuk seluruh anak Indonesia; pendidikan keahlian dan teknik seharusnya dibuat secara umum untuk diikuti bagi yang berminat; maupun pendidikan tinggi seharusnya dapat diakses secara sama bagi setiap individu atas dasar kelayakan.
Di dalam Pasal 2 Deklarasi HAM juga menyatakan bahwa  pendidikan seharusnya ditujukan untuk meningkatkan secara maksimal kepribadian manusia dan memperkokoh penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi. Pendidikan seharusnya menciptakan rasa pengertian, tenggang rasa, maupun persahabatan antar berbagai bangsa tanpa melihat perbedaan suku dan agama, dan seharusnya membantu kegiatan PBB untuk memelihara perdamaian. Secara singkat, terdapat empat butir pengakuan masyarakat internasional atas hak-hak yang dimiliki oleh anak, yakni sebagai berikut (Muhtaj, 2008: 226).
1. Hak terhadap kelangsungan hidup.
2. Hak terhadap perlindungan.
3. Hak untuk tumbuh-kembang.
4. Hak untuk berpartisipasi.
Untuk memenuhi tujuan dari sebuah konstitusi, pemerintah telah mengadakan program Wajib Belajar 9 tahun.Sebelumnya program tersebut hanya sampai Sekolah Menengah Pertama saja. Program tersebut hendaknya dibiayai oleh pemerintah dan tidak boleh memungut biaya kepada peserta didik, sejak bulan Juli tahun 2005 pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan lewat Program BOS yaitu dengan mengeluarkan dana senilai Rp. 6,27 triliun dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM untuk kurang lebih 39,61 juta siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di seluruh wilayah Indonesia. Namun, jumlah dana yang dikeluarkan untuk pendidikan masih sangat kurang yaitu pada tahun 2006 jumlah dana yang dikeluarkan hanya 8,6% dari anggaran APBN (Suryono, 2007: 2).
Usaha perlindungan hukum bagi anak diartikan sebagai usaha perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan masa depan yang baik bagi anak. Masalah perlindungan hukum bagi anak tentulah mencakup ruang lingkup yang sangat luas (Arief, 1998: 153).
Kasus kemiskinan tidak hanya memberikan kontribusi dalam bertambahnya jumlah pengangguran dan kasus kriminal di Indonesia, namun juga ikut menambah jumlah anak terlantar di Indonesia yang seharusnya dipelihara oleh negara sebagai calon masa depan bangsa. Gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan adalah cerminan kehidupan fakir miskin dan anak terlantar. Mereka dapat begitu mudah ditemui di kota-kota besar.Dan jumlah mereka selalu bertambah setiap tahunnya. Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, data anak telantar ada 4,1 juta anak jalanan dan anak yang dieksploitasi 35 ribu anak. Sementara, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) merilis ada 18 ribu anak korban eksploitasi.
Tidak banyak tindakan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk mengurangi jumlah anak terlantar.Anak terlantar di Indonesia semakin banyak karena tidak adanya program pemberdayaan mereka.Anak terlantar dan fakir miskin ini merupakan indikator kemiskinan yang terjadi di suatu daerah.
Dalam Pasal 34 ayat (1), bisa menjadi memiliki arti yang berbeda-beda. Hal ini sangat bergantung  dari sisi mana seseorang memaknainya. Jumlah fakir miskin dan anak terlantar yang terus bertambah bisa menunjukkan kurangnya kemampuan negara dalam memberikan penghidupan yang layak kepada mereka. Namun, terus bertambahnya mereka juga dapat dibuktikan dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut karena negara memang “memelihara” (membiarkan tumbuh) mereka.
Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Prawansa, pemerintah sudah memberikan perhatian serius terhadap nasib dan masa depan anak-anak jalanan. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA).
Perlindungan terhadap anak melalui RPSA sebenarnya tidak sekadar bangunan fisik dilengkapi ruangan yang berbentuk shelter, melainkan juga harus dilengkapi fasilitas penunjang. Di antara fasilitas tersebut, yaitu ada konseling, termasuk bagi bayi maupun balita yang telah diberi obat-obat penenang tertentu, maka wajib diasuh oleh petugas khusus. Kelengkapan RPSA di masing-masing daerah bisa disinergikan dengan Kementrian sosial, sehingga bisa disediakan para kanselor sesuai SOP pengasuhan juga ditambah tim trauma konseling dan trauma healing.
Peran pemda dan jajaran kepolisian di seluruh Indonesia, dalam memberikan perlindungan kepada anak terlantar membutuhkan persetujuan RPSA melalui rumah perlindungan atau save house.
Dua puluh empat tahun yang lampau, Indonesia menyatakan komitmen untuk menjamin anak diberikan masa depan yang lebih baik. Sejak itu tercapailah kemajuan besar, sebagaimana tercantum dalam agenda pemerintah Indonesia tentang Pelaksanaan Konvensi Anak ke Komite Hak Anak, Jenewa, lebih banyak anak bersekolah dibandingkan sebelumnya,  anak mulai terlibat aktif dalam keputusan yang menyangkut kehidupan mereka, dan sudah ditentukan pula undang-undang yang melindungi anak.
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 pun sudah menegaskan bahwa anak terlantar dipelihara oleh Negara. Namun, aturan tersebut seakan hanya menjadi penghias di buku Undang-Undang saja, karena pada kenyataannya jumlah anak terlantar semakin banyak. Tidak ada tindakan dalam kehidupan nyata dalam menangani jumlah yang semakin banyak itu.
Orang tua yang tidak bertanggung jawab dalam mengasuh anak juga patut untuk disalahkan. Sekarang ini, banyak sekali orang tua yang menelantarkan anaknya. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ekonomi. Ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi biaya hidup anak mereka, membuat mereka mengambil jalan yang paling mudah yaitu dengan membuang anak mereka.
Namun, ada juga yang justru menyuruh anak mereka untuk mencari uang di jalan. Berpura-pura menjadi pengemis, pengamen, dan anak jalanan. Banyak sekali anak yang seharusnya dapat menikmati masa indah mereka, bersusah payah di bangku sekolah untuk belajar keras dan meraih cita-cita, namun justru diperintahkan oleh orang tua mereka sendiri untuk membantu memenuhi perekonomian keluarga.
Disinilah tugas pemerintah untuk memberantas mereka. Memberikan perlindungan bagi mereka yang benar-benar kekurangan dan memberikan arahan bagi mereka yang hanya ingin menghasilkan uang tanpa usaha apapun. Karena hak anak adalah untuk mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan kehidupan yang layak. Mereka tidak boleh memikirkan cara menghasilkan uang di usia yang masih begitu kecil. Usia yang hanya boleh memikirkan kesenangan dan kebahagiaan saja.
Anak-anak adalah harta penting bagi bangsa. Jika mereka dididik dengan baik dan benar, maka mereka akan menjadi penerus bangsa yang dapat membuat maju bangsa Indonesia. Dalam pengimplementasian perundang-undangan di Indonesia, pendidikan belum menjadi prioritas yang harus didahulukan. Pendidikan di dalam peraturan perundang-undangan, contohnya terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945  pasal 28 C, pasal 28 E, pasal 31, dan pasal 34. Ada juga Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak, ataupun UU No. 4 Tahun 1979 yang mengatur tentang Kesejahteraan Anak.
Dari semua peraturan tersebut, pendidikan merupakan suatu hak dari setiap Warga Negara Indonesia; termasuk anak terlantar, anak kurang mampu, anak jalanan dan lain sebagainya. Akan tetapi pada kenyataannya, kelompok tersebut belum memperoleh akses pendidikan yang menyeluruh (merata) dan adil.Bukannya mendapatkan pendidikan yang nyata dari pemerintah, mereka justru tidak “dianggap” keberadaannya.
Hal ini sangat bertentangan dengan mahalnya biaya pendidikan. Dampak dari mahalnya biaya pendidikan adalah semakin banyaknya anak yang putus sekolah, bahkan banyak anak yang tidak bisa sekolah hanya karena masalah biaya (faktor finansial). Apalagi untuk anak-anak terlantar. Jangankan untuk mendapat pendidikan yang berkualitas, untuk membaca atau berhitung saja masih banyak dari mereka yang merasa kesulitan. Tidak adanya bimbingan dari orang-orang yang berpendidikan dan tidak adanya kepedulian dari pemerintah membuat hidup mereka semakin susah saja.
Padahal sudah jelas termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap orang memiliki hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, yakni mendapatkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Namun, angka anak putus sekolah masih tinggi. Apalagi bagi anak-anak jalanan yang bahkan tidak bisa merasakan duduk di kursi sebuah kelas. Hubungan masalah sosial dalam kasus ini dikarenakan ketidak berfungsinya lembaga pemerintah sebagai pelaksana konstitusi yang sudah diamanahkan kepada lembaga pemerintah ini. Masalah ketidak adilan pendidikan  anak jalanan dan terlantar ini tidak dapat dipandang dari segi yuridis saja. Perlu juga pendekatan yang lebih luas yaitu dari segi  sosial, ekonomi, dan budaya.
Kehidupan anak-anak terlantar ini juga sangat miris. Sering kita lihat di berita, banyak sekali kasus pembunuhan dan tindak seksual yang menimpa anak jalanan. Banyak sekali kasus terhadap anak-anak jalanan. Ini menjadi hal yang sangat serius yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Karena jika terus dibiarkan, akan memberikan dampak buruh pada anak-anak tersebut. Mental mereka akan terganggu dan bisa saja menimbulkan trauma yang berkepanjangan.
Dalam Pasal 6 Ayat 2 PP.No.2 Tahun 1998, dijelaskan bahwa pengentasan anak jalanan adalah sebuah usaha untuk memberikan bimbingan dan pembinaan baik fisik, mental dan sosial kepada anak agar bisa tumbuh dan berkembang dengan wajar. Usaha pengentasan ini dapat dilakukan oleh Panti Asuhan, asuhan keluarga. Pengentasan anak ini dimaksudkan untuk mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak. Fungsi ini meliputi kombinasi dari bermacam-macam keahlian teknik dan fasilitas-fasilitas khusus yang ditujukan untuk mencapai pemeliharaan fisik, penyesuaian psikologis, penyuluhan, dan bimbingan.
Dalam pasal 76 I menyatakan, bahwa pihak yang melakukan pemerasan terhadap anak jalanan dan terlantar, terancam hukuman dipidana sesingkat-singkatnya 5 tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dengan denda terbanyak Rp 5 miliar”. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak.Dalam undang-undang nomor 35 tahun 2014, menjelaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, menyuruh, dan turut serta dalam melakukan eksploitasi ekonomi dan seksual terhadap anak.
Masalah anak terlantar ini sebenarnya adalah masalah yang muncul dari sistem negara yang berakibat pada meningkatnya angka kemiskinan hingga berakibat pada meningkatnya jumlah anak terlantar di negara Indonesia. Pihak yang melakukan eksploitasi pada anak terlantar sebagian besar adalah mereka yang perangkap dalam masalah kemiskinan. Permasalahan seperti ini dibutuhkan perhatian yang sangat khusus dari pemerintah dan masyarakat, karena masalah ini bukan permasalahan sosial yang dapat diatasi melalui bantuan-bantuan sosial yang berasal dari organisasi-organisasi tertentu. Melainkan hanya sistem negara yang dapat mengatasi masalah meningkatnya jumlah anak-anak terlantar di Indonesia melalui penghapusan sistem kapitalis yang saat ini berlaku dalam negara Indonesia.
Anak terlantar pada dasarnya adalah sama dengan anak pada umumnya. Dalam keseharian mereka memerlukan berbagai kegiatan yang terdiri atas kegiatan bermain, belajar, dan untuk mencapai suatu prestasi. Pada dasarnya kegiatan tersebut juga merupakan hak mereka yang paling mendasar yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi dalam hal pengaturan sistem belajar mengajar yang tepat bagi anak terlantar. Dengan menjaga keseimbangan diharapkan masing-masing aktifitas ini dapat menimbulkan rasa keinginan dan kemauan yang lebih besar bagi anak terlantar untuk mengubah kehidupan mereka sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Anak dalam melakukan aktivitasnya dalam belajar, bermain dan berprestasi juga sering kali secara sadar atau pun tidak sadar melakukan aktivitas yang positif. Kreatifitas ini sering kali dilupakan oleh masyarakat sehingga kreatifitas tersebut akhirnya menjadi musnah dengan sendirinya. Dengan menghargai dan menjaga kreatifitas anak terlantar maka diharapkan mereka dapat menemukan suatu solusi secara mandiri untuk mengubah kondisi kehidupannya menjadi lebih baik lagi.
Banyak data yang menyebutkan bahwa salah satu putusnya sekolah (pendidikan) bagi anak-anak terlantar dikarenakan sebagian besar anak terlantar tidak terbiasa mendapatkan pendidikan secara formal. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari anak terlantar biasa hidup bebas dan jauh dari aturan-aturan yang bersifat mengatur serta mengikat. Sehingga mereka biasanya menolak apabila dipaksa untuk bersekolah. Upaya untuk menyelesaikan masalah pendidikan dari anak terlantar dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni sebagai berikut:
1. Membebaskan biaya pendidikan bagi anak terlantar dan keluarga miskin.
2. Memperbanyak akses untuk mendapatkan beasiswa.
3. Pemberdayaan keluarga.
4. Memberikan payung hukum dalam menangani pendidikan anak terlantar.
5. Pemberdayaan instansi terkait
Anak terlantar harus dipandang bukan hanya tanggung jawab Negara, melainkan juga tanggungjawab pihak swasta dan masyarakat umum. Sehingga Negara, swasta, dan masyarakat umum dapat duduk bersama untuk mencarikan solusi terbaik bagi masa depan mereka terutama dalam sektor pendidikan.
Dalam menangani permasalah ini, Indonesia sebenarnya telah mempunyai Departemen sosial, tetapi entah mengapa kerja dari Departemen ini tidak pernah terdengar. Menghadapi anak terlantar contohnya anak jalanan yang berkembang begitu besar, pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya. Dari upaya penertiban, pembinaan, pemberian pelatihan-pelatihan, hingga penyediaan rumah singgah bagi mereka. Namun, seperti upaya-upaya yang telah dilakukan tersebut belum cukup.
Pemerintah harus bekerja lebih keras dalam mengatasi fakir miskin dan anak terlantar di Indonesia.Undang-undang dasar memberi amanat bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara.sehingga mereka yang hidupnya terlantar harus menjadi perhatian Negara. Tetapi, harus juga dipahami bahwa kemampuan Negara sekarang ini memang masih sangat terbatas. Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi anak terlatar di Indonesia antara lain:
1. Melakukan identifikasi terhadap akar permasalahan guna menyelesaikan masalah anak terlantar tersebut dengan menyentuh pada sumber permasalahannya.
2. Memberikan perlindungan kepada anak tanpa terkecuali. Undang-undang dasar nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengamanatkan bahwa perlindungan anak sangat penting dilakukan dengan tujuan untuk menjamin hak-hak bagi anak agar dapat hidup terpenuhi,hak untuk berkembang, serta untuk berpartisipasi secara maksimal sesuai dengan harkat serta martabat kemanusiaan, dan berhak memperoleh perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan,agar dapat mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
3. Menciptakan program-program yang responsive terhadap perkembangan anak, termasuk anak-anak jalanan.
4. Membangun kesadaran bersama bahwa masalah anak terlantar sesungguhnya merupakan suatu tanggungjawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, serta orang tua.

KESIMPULAN
   Anak terlantar dilindungi oleh negara. Pernyataan tersebut terdapat pada Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Hakikatnya anak jalanan merupakan tanggung jawab bersama bukan hanya pemerintah, namun juga kita sebagai masyarakat yang beradab, dan berperikemanusiaan yang berpegang teguh pada dasar-dasar pancasila, saling menjaga kerukunan dan kesejahteraan anak jalanan juga menjadi tanggung jawab masyarakat sebagai makhluk sosial. Peran dan perhatian pemerintah terhadap penderitaan anak-anak jalanan memang masih sangat jauh dari harapan, bahkan pemerintah menganggap mereka hanya bagaikan barang rongsok yang sudah tidak dapat digunakan lagi. Peraturan yang berlaku pun hanya sebuah tulisan di secarik kertas putih yang di musiumkan. Jika di lihat dari sisi lain, anak jalanan jika di berikan perhatian dan pendidikan yang layak mereka juga mampu mengharumkan nama bangsa bukan hanya berkeliling di jalanan mencari keping demi keping uang receh. Keterbelakangan ekonomi, pendidikan, dan peran orangtua memang menjadi faktor utama yang memaksakan mereka untuk hidup liar dijalanan yang bebas. Oleh karena itu pemerintah harus bekerja lebih keras dalam mengatasi jumlah anak terlantar yang terus bertambah.

DAFTAR PUSTAKA

Alston, P. 1992. The United Nations and Human Rights; A Critical Appraisal. Jakarta: Kencana.
Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Majda, El Muhtaj. 2008. Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan  Budaya, Ed.1. Jakarta: Rajawali Pers.
Nowak, Manfred. 2001. Hak Atas Pendidikan, Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku Teks Revisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Suryono, Hasan. 2007. Kondisi Penegakan Hak Asasi Manusia di Bidang Pendidikan (Studi  Sinkronisasi dan infentarisasi hukum). Semarang: Universitas Sebelas Maret.
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana.


Penulis Artikel: Nia Karmila, Nopi Lestari, Nunung Nurjanah, dan Rizki Awalia.