Menjejakan kaki di sekolah yang
sudah memberi ilmu kepadaku selama hampir tiga tahun ini. Dan apa yang aku
lakukan, datar. Tak ada yang istimewa. Aku, Kia. Kiafa Azura. Murid kelas tiga
SMP. Aku murid biasa di sekolah ini. Catat! ‘Biasa’. Sama seperti hidupku.
Biasa. Sangat. Tak ada yang spesial. Well, aku harus cepat-cepat ke kelas
karena belum mengerjakan satu pun pr fisika. I hate that lesson!
Berjalan melewati koridor yang sudah
ramai oleh murid-murid lain dengan cepat. Ralat. Sedikit cepat. Aku tak suka
berjalan cepat, apalagi berlari. Huh, efek kurang berolahraga, mungkin? Ketika
fikiranku mulai berlari kemana-kemana. Dan langkah mulai ku percepat karena
jarak ke kelasku sudah dekat. Mulailah kebiasaan anehku.
Berhenti mendadak dan berdiri
mematung beberapa saat. Asupan oksigen disekitarku seakan lenyap. Dan mataku
hanya bisa focus ke satu arah. Ah salah, tepatnya satu orang. Dia, Kalfa. Kalfa
Abrizan. Laki-laki yang ku suka secara diam-diam sejak awal tahun kedua aku
bersekolah disini.
Setelah terpaku beberapa detik. Aku
membalik badan ke samping kearah dinding sekolah. Berdiri sekaligus mencoba
mencari asupan oksigen kembali sebanyak-banyaknya untuk menormalkan jantungku
yang berdebar cepat. Berharap dia tidak melihatku. Ah, tak usah berharap. Aku
rasa, walaupun aku tak melakukan kebiasaan aneh ku ini, dia juga tak akan
melihatku kan? Tahu aku saja, mungkin tidak.
Aku mendengar suara tawanya melewatiku. Aku
tersenyum sendiri. Hah, benar-benar awalan hari yang indah bukan? Mendengar
suara tawanya. Ya, walaupun bukan karena diriku. Setelah semuanya normal, aku
mempercepat jalan ke kelas yang tinggal berjarak 12 langkah saja.
Ketika masuk kelas, suasana sangat
ricuh. Teman-temanku pindah dari meja satu ke meja lain, bergerombol di satu
meja, marah-marah tidak jelas, apalagi kalau bukan karena pr fisika. Aku pun
cepat menaruh tas dan mengambil buku latihan fisika, melirik ke arah jam kelas
sebentar. 06:53. Oh mati saja kau, Kia! Kau hanya punya waktu 7 menit! Aku pun
segera memutar kepala mencari dimana keberadaan Nana, Tia, atau Rere. Ah, Nana!
“Na!” Panggilku cukup bisa didengar
olehnya. “Gue pinjem bu-“ belum selesai aku bicara, dia sudah melempar buku
latihan fisikanya. “Tuh! Dijamin betul semua! Gue liat kelas sebelah tadi
pagi.” Ucapnya dengan nada sombong yang menurutku salah tempat. “Huh, nyontek
aja bangga!” Ejekku tanpa berkaca dahulu. “Yee, yaudah siniin kalo nggak mau!”
Ucapnya, kesal dengan ejekanku. “Eh iya-iya, gue mau liat kok” Ucapku sambil
memunculkan senyum semanis mungkin dan membawa buku Nana ke atas meja. It’s
time to paste the home work!
***
09:58. Untuk kesekian kalinya aku
melihat kearah jam. Lapar. Aku tak biasa sarapan, jadi sebelum waktu istirahat
tiba, perut sudah berdemo. 09:59. Ayolah, 1 menit cepat datang! “Teng! Teng!
Teng!” Akhirnya bunyi bel. “Ayo ayo ke kantin! Gue lapaaaar!” Rengek Tia sambil
menarik-narik tanganku.
“Yaudah ayo perut gue juga udah minta diisi nih!”
Jawabku. Dan kita pun menuju kantin dengan terburu-buru. Takut kehabisan meja
kosong.
“Lo pada mau apaan? Gue yang pesenin
aja.” Tanya Tia. “Kaya biasa aja gue.” Ucap Nana. “Gue juga, Ti.” Ucapku.
“Yaudah gue juga kaya biasa deh.” Ucap Rere. Dan Tia pun bergegas membeli
pesanan. Nana sibuk memperhatikan orang-orang di kantin. Rere sibuk dengan
handpone nya, pasti Gio. Pacarnya. Mereka sudah pacaran cukup lama. Dari akhir
tahun kedua kami di SMP. 1 tahun lebih, mungkin. Dan itu sukses membuat aku,
Nana, dan Tia iri. Sedangkan aku, sibuk memperhatikan sosok yang berada di dua
baris meja didepanku. Ya, Kalfa. Dia sedang asyik bersenda gurau dengan
teman-temannya, dan sesekali tertawa memamerkan lesung pipinya yang terukir
jelas di kedua pipinya. Tampan. Sangat.
“Ca to the pek deh. Hampir dua tahun
begini mulu, Ki. Ngeliatin dari jauh mulu. Nggak bosen apa?” Ejekan Rere hanya
kubalas dengan senyum kecut. “Kia, kita bentar lagi mau lulus nih, gimana kalau
lo nyatain perasaan lo ke Kalfa. Udah nggak usah mikirin malu nggak diterima
atau gimana. Toh kalau misalnya emang nggak diterima, kita udah mau lulus ini.
Jadi nanggung malu nya nggak kelamaan. Ya kan, Re?” Ucap Nana dengan usul yang
pasti kutolak itu. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan menghela nafas. Aku
tak perlu melakukan hal itu kan? Itu hal yang sangat bodoh. Aku melanjutkan memakan
pesananku. Tentunya sambil sesekali melirik ke arah Kalfa. Duh, apa emang tak
ada satu pun orang yang bisa membuat aku tak terpengaruh oleh kehadiran Kalfa
lagi?
***
Aku berjalan perlahan di koridor
yang sudah sepi. Hhh anginnya sejuk. Membuat rasa lelah hilang perlahan. Aku
pulang telat, yah resiko sebagai ketua kelas. Aku dimintai tolong oleh wali
kelas untuk menulis identitas murid-murid kelas untuk raport. Tak kusangka,
dalam waktu tak ada tiga bulan, aku akan lulus dari sekolah ini. Senang. Tapi,
kalau mengingat aku mungkin saja tak akan bertemu dengan Kalfa, membuat hati ku
resah. Tapi ya apa mau dikata? Justru itu waktu untuk mencoba melupakan dia.
Aku mematung seketika. Fikiran ku
tentang lulus dari sekolah ini terputus begitu saja. Kenapa? Kau pasti tahu.
Ya. Dia ada di depanku sekarang. Sedang berjalan sendirian dengan earphone yang
bertengger manis di telinganya. Tampan. Selalu. Dan ketika aku tersadar dari
lamunanku. Aku pun memilih menundukkan kepalaku agar tak bertatapan ketika
lewat. Dan aku mempercepat langkah kaki. Tetapi hal yang terjadi tak pernah aku
fikirkan. Bahu ku dan bahu nya bertabrakan sedikit. Membuat aku kaget. Dan
sukses membuat dia melepas satu earphone nya dan dia berbicara untuk pertama
kalinya kepadaku. Pertama kali. “Eh, maaf.” Ucapnya. Oh Tuhan, suaranya akan ku
simpan dalam otakku. Ini seperti keajaiban dia berbicara padaku.
Aku tersadar dari lamunanku. Dan
terlihat wajah Kalfa yang bingung menatapku. Dan oh ya ampun, wajahku pasti
memalukan. Seketika aku merasa wajahku memanas. Dia berbicara padaku dan menatapku!
Ini keajaiban beruntun. Aku pun salah tingkah dan langsung pergi dengan langkah
kaki cepat menjauhi Kalfa. Pasti dia semakin bingung dan menganggapku aneh. Dan
yang lebih parah, dia akan menganggapku gadis yang tak tau sopan santun.
Habislah riwayatmu, Kia!
***
Sudah
jam delapan malam dan aku belum keluar dari kamar sejak pulang sekolah. Selesai
mandi aku langsung menuju kasurku dan melompat-lompat layaknya orang gila. Aku
memejamkan mataku dan memutar kembali kejadian dengan Kalfa tadi. Kejadian yang
hanya beberapa detik itu, seakan membayar semua perasaan ku selama dua tahun
ini. Aku tau ini berlebihan. Tapi ini yang kurasa. Aku senang. Sangat sangat
senang. Kalfa menatapku dan berbicara padaku untuk pertama kalinya. Mungkin aku
akan diejek payah oleh Nana, Tia, dan Rere. Tapi siapa yang peduli pada mereka?
Aku tak akan menceritakan kejadian tadi pada mereka bertiga. Aku akan menyimpan
kejadian indah hari ini sendiri. Akan ku ingat jelas bagaimana suaranya dan
ekspresinya tadi. Kau hebat, Kia! Ini benar-benar keajaiban.
***
“Woy mbak! Ayo kek cepetan kalo mau
nebeng mah!” Itu suara Kevin. Adikku satu-satunya. Dia kelas 1 SMP di sekolah
yang sama denganku. Aku harus segera keluar dari kamar, kalau tidak mau
ditinggal pergi. Sekali lagi kulihat penampilanku di cermin. Oke, siap untuk ke
sekolah.
***
“Mbak, itu kak Kalfa kan ya?” Tanya
Kevin. Aku yang sedang duduk tenang di jok belakang motornya pun kaget. Dan
bertanya pelan “Mana, Kev?” sambil mencari-cari keberadaan Kalfa. Kevin ini
junior Kalfa di ekstrakulikuler PMR (Palang Merah Remaja) di sekolah dan perlu kalian
catat Kevin sama sekali tak tahu tentang perasaanku pada Kalfa. “Itu tuh
samping mobil depan kita.” Jawab Kevin kemudian. Dan seketika itu pula,
jantungku seperti di remas. Sakit. Kalian tau kenapa? Kalfa-ku berangkat bareng
si kampret Rila! Sial! Kalian tau Rila siapa? Dia itu mantan Kalfa. Dan ngapain
sekarang mereka berangkat bareng lagi? Jangan katakan kalau mereka mulai dekat
lagi! Enggak boleh! Oh Tuhan, jangan lagi tolong.....
***
Efek kejadian tadi dijalan adalah
langkahku yang gontai, badan ku yang lemas, dan tak ada lagi semangat untuk menjalani
hari ini. Oke, Kalfa hari ini moodbreaker. Hah!
Masuk ke kelas aku langsung duduk di
kursiku dan menaruh kepalaku di atas meja. Suasana kelas yang ramai seperti
pasar malam tak ku pedulikan. Pasti pr bahasa inggris. Dan karena tadi malam
suasana hatiku sedang berbunga-bunga, maka aku mengerjakan pr membuat beberapa
kalimat present continuous tense dan past continuous tense. Lagi pula, aku tak
berani menyalin pekerjaan punya yang lain karena aku tak ada niat untuk
mendapat nilai setengah. Kalian tau? Mr. Ali akan memberikan nilai setengah
dari hasil asli yang kalian dapat jika menurut dia pekerjaan kalian sama dengan
teman yang lain. Aku tak mau nilai bahasa inggris ku hancur.
“Wey! Ngelamun aja lo. What’s
wrong?” Fikiran ku tentang Mr. Ali pun terputus karena pertanyaan Nana yang
sudah duduk disampingku sambil menumpukan dagunya di tangan. “Enggak.” Jawabku
singkat, jujur saja aku masih di zona badmood gara-gara tadi pagi. “Kalfa?”
Tanya Nana tepat sasaran. Aku langsung mengalihkan wajahku ke arahnya dan
memasang wajah –kok-lo-tau-sih- dengan kening berkerut. “Apalagi sih, yang buat
lo jadi menye-menye gak jelas gini, kalo bukan gara-gara si Kalfa.” Aku hanya
menghela napas mendengar penuturannya. “Lo harus nyatain perasaan lo, Kia. Biar
lo tenang dan lega gitu. Siapa tau abis lo nyatain perasaan lo, eh lo sama dia
malah jadi deket. Dia suka sama lo. Dan jeng jeng jeng kalian jadian. Ya kan?”
Ucapnya sambil bertepuk tangan sekali di kalimat terakhir.
“Ini gak semudah
yang lo bayangin, Na. Ya iya Alhamdulillah kalo gue sama dia deket terus jeng
jeng jeng jadian. Kalo dia malah mandang gue seakan-akan gue cewek paling gak
waras di muka bumi dan dia ngejauhin gue layaknya gue terjangkit virus paling
mematikan yang menular, gimana?” Aku mengeluarkan apa yang ada di pikiran ku
pada Nana.
Dan dia terdiam dan aku tau dari matanya yang terfokus padaku dan
keningnya yang berkerut, dia sedang berpikir keras. “Gue gak bisa pastiin kalo
lo nyatain perasaan lo, Kalfa akan bersikap seperti yang gue pikir. Tapi lo juga
gak bisa langsung yakin gitu aja kalo Kalfa akan bersikap seperti yang lo
pikir. Dan ini juga hak lo mau nyatain perasaan lo ke Kalfa atau enggak. Tapi
gue sebagai sahabat cuma mau yang terbaik buat lo. Udah dua tahun suka sama
cowok. Tapi gak berani bilang. Jangan kan bilang, deketin aja gak mau. Kita mau
lulus bentar lagi. Lo mesti pikirin baik-baik apa yang gue bilang. Jangan
sampai lo nyesel nantinya, oke?” ucap Nana dengan nada yakin. Dan aku hanya
bisa mengangguk. Entahlah saat ini otak ku kacau, seakan pikiran-pikiranku
melayang dan membuat kepalaku pusing. Aku harus berhenti memikirkan ini.
Setidaknya untuk sementara.
-Tbc-