Sabtu, 14 Maret 2015

Catatan Pribadi #2 -Not Important-

Gue kelas 3 SMA saat ini. Dan minggu ini, lagi pusing-pusing nya ngerjain soal Ujian Sekolah. Selesai ujian sekolah, lanjut ujian praktek dulu dua hari. Setelah itu, hari tenang deh. Yah, tenang-tenang menghanyutkan sih sebenernya. Kira-kira dua minggu menuju Ujian Nasional. Tiap hari ketemu sama guru mata pelajaran IPA inti yang di UN-in nanti, ada 6 pelajaran.

Gue mau posting cerita gue sebenernya, bukan cerita fiksi ya tapi curcol-an gue aja tentang perguruan tinggi mana yang gue daftarin dan alasannya mungkin, kalo ada. Kemarin sempet posting, Just See You ya. Cerita yang baal-baal itu murni hasil jerih payah otak gue. Walaupun ini blog, gak ada yang baca (betapa menyedihkan) tapi kenapa gue tetep ngepost karena ya... gue suka.

Dan kenapa gue gak kasih tau temen-temen gue atau promo di medsos tentang blog gue ini. Karena... gue malu. Blog ini masih nol besar banget. Belum ada menarik-menarik nya sama sekali. Dan posting-an blog nya juga baal-baal banget. Jadi gue belum bisa, belum mau promo-promo ini ke medsos.

Ya... paling-paling share aja ke Google+. Tapi gue yakin, gak ada yang sering nongkrong atau berselancar di Google+. Jadi ya, gue tenang-tenang aja. Oke, enough. Gue bakal post curcol-an perguruan tinggi di posting-an setelah ini. Wait!

Just See You -2-


Lagi-lagi pulang telat, tapi kali ini bukan karena tugas sebagai ketua kelas, melainkan tugas sebagai pelajar, ya apalagi kalau bukan belajar. Wow, betapa rajinnya Kia ya, sampai mau belajar di sekolah. Ini karena si babon Yoga. Dia teman sekelas ku, dan di kelas tadi dia tak sengaja menumpahkan minumannya pada buku Biologi ku. Dan semuanya ba...sah. Besok aku ulangan biologi, ya terpaksa harus pinjam buku biologi di perpustakaan, dan karena aku tak mau membawa pulang, lebih baik belajar saja disana, sekalian untung-untung mendownload gratis. Haha. Ya, itu satu hal yang membuat ku suka berada di perpustakaan. Wi-fi nya...
Aku berjalan cepat karena aku takut sekolah ini sudah hampir sepi. Melewati koridor satu ke koridor satu lagi, hingga aku berada di koridor terakhir. Tapi ada suara... tangisan! Oh ya ampun, apa aku harus pergi atau melihat? Aku penasaran, tapi biasanya kalau kita penasaran dan memeriksanya kita akan menemukan hal yang aneh dan menakutkan. Tidak! Aku terlalu sering menonton film horror, yang berdampak pada mental ku sekarang ini, hanya sebesar biji kuaci. Aku harus memeriksanya.
Dan.... ya. Aku menemukan hal yang aneh dan juga menakutkan. Yang membuatku tak bisa pergi dari situ, yang membuat asupan oksigen ku kembali menghilang dan membuat jantungku seakan di remas. Kalfa, disana. Dan ada... Rila. Mereka berpelukan. Kalfa. Rila. Berpelukan.

***

Malam itu aku menangis tapi tidak seperti orang gila yang menangis kencang. Karena orang tua ku dan juga Kevin pasti akan bertanya. Mati saja kau, Kalfa! Apa kau tau apa yang kurasakan? Oh sial. Kalfa selingkuh dari mu, Kia! Kalfa sial! Sial! Sial! Tidak.... Kalfa tak selingkuh. Aku bukan siapa-siapa nya. Ya, bukan siapa-siapa nya. Bahkan... dia tak mengenalku. Kalfa tak salah. Aku yang salah.

***

Pagi ini aku berangkat sekolah. Menjalani hari dengan sesuatu yang baru. Kalian tau apa yang baru? Itu adalah cara ku menangani sesuatu. Aku tersentak kedepan karena terkejut, ada yang menepuk pundakku secara tiba-tiba. “Sial, Rere!” Dan Rere berdiri dihadapanku sambil menunjukan cengiran seperti orang bodoh. “Maaf sih, ngelamun mulu sih. Mikirin tuh orang ya lo?” Ucap Rere sambil melihat ke arah gerbang sekolah. Ketika aku memutar pandanganku, aku hanya bisa terpaku. Tapi hanya sebentar. Dan bergumam “Oh. Bukan.” Aku meninggalkan Rere, lebih baik aku cepat ke kelas. “Wey, Kia!” Aku tau Rere pasti bingung dengan sifatku dan benak nya pasti dipenuhi oleh banyak pertanyaan. Tapi ini hal yang aku sebut sebagai sesuatu yang baru. Mulai hari ini, aku akan mencoba untuk melupakan Kalfa dengan menganggap seolah-olah dia tidak ada dan membohongi diriku sendiri bahwa aku tidak terpengaruh oleh dia. Ya aku harus melakukan itu. Sudah cukup dua tahun ini. Aku tak mau melanjutkan hal konyol ini lagi. Lebih baik aku fokus dengan kelulusan ku. Ya, betul itu Kia!

***

Pertama kalinya setelah hampir tiga tahun aku sekolah di sini, aku malas ke kantin. Yah... kalian sudah tau alasannya bukan? Tapi tidak dengan ketiga teman ku ini. Mereka sedang menatapku dengan kening berkerut dan Tia menempelkan telapak tangannya di dahiku, “Lo sakit? Kurang tidur? Tumben amat gak mau ke kantin. Ada Kalfa loh, Kalfa.” Tanya Tia. “Gue ok. Males aja.” Jawab ku. “Yaudah mending lo sama Rere ke kantin beli makanan apa kek gitu buat gue sama Kia. Gue disini aja temenin nih anak.” Ucap Nana. Tia dan Rere pergi ke kantin.
Nana langsung duduk disebelahku dan aku tau dia akan mengajukan pertanyaan, karena dia tau aku sedang tidak baik-baik saja. “Lo cerita sama gue deh, Ki. Muka lo sepet gitu suwer. Cerita cepet lo kenapa?” Ucap nya sesuai dugaanku. Aku menghela nafas dan memutuskan untuk bercerita pada Nana. “Kemarin gue liat Kalfa pelukan sama Rila.” Dan tak bisa ku tahan lagi, air mata pun jatuh. “Gue... gue gak ngerti mau gimana lagi. Gue gak bisa marah, karena gue gak ada hak sama sekali.” Ucapku sambil menangis perlahan. “Ya. Lo gak punya hak buat marah. Lo bukan siapa-siapa nya Kalfa.” Ucap Nana yang membuat ku menangis kencang. “Aaaa Nana! Lo gitu sih!” Aku meletakkan kepalaku diatas lengan yang terlipat. “Itu kenyataan, Kia. Gue kan udah bilang, nyatain perasaan lo. Jangan sampe tuh si Kalfa balikan lagi sama si Rila atau deket sama cewek lain. Sekarang? Udah kaya gini. Mereka deket lagi. Nah, karena mereka juga baru deket aja, kenapa lo gak cepet-cepet nyatain perasaan lo ke Kalfa?” Tanya Nana. “Engga mau. Gue malu. Gue gak berani. Berapa kali gue harus bilang ke lo sih Na?” Ucapku kesal. “Terus lo mau gimana, Kia?” Tanya Nana lembut. “Gue mau lupain Kalfa. Gue yakin gue bisa. Sebentar lagi kita lulus. Gue yakin, gue akan dengan mudah lupain Kalfa.” Aku mengatakan hal itu dengan ucapan yang tegas dan yakin, tapi dengan hati yang penuh ketidak yakinan. “Ok kalo lo mau nya gitu. Cuma lo yang bisa nentuin lo harus gimana. Dan cuma hati lo yang bisa nunjukin apa yang harus lo lakuin. Semangat!” Nana berkata dengan senyum dan raut menyemangatiku. Ya, aku hanya berharap semua yang terbaik untuk diriku. Apapun itu.

***

“Kia, lo dicariin tuh.” Aku sedang membaca catatan biologi ku ketika Fira, teman sekelas ku memanggil.  “Siapa?” tanyaku. “Udah liat aja diluar sana.” Ucapnya sambil menaik turunkan alisnya. Oke ini aneh. Sikap Fira menunjukan ada sesuatu. Dan entah kenapa jantungku mulai berdetak lebih cepat. Semakin aku melangkahkan kaki ku menuju pintu kelas, semakin kencang juga debaran itu. Dan ketika aku di depan pintu. Aku melihatnya. Ya, itu dia. Aku hafal betul bagaimana sosok nya dari belakang. Kalfa.
Aku hanya bisa terdiam di tempatku. Jantungku seakan ingin melompat dan aku sesak. Seakan tidak ada oksigen di sekelilingku. Hal biasa yang aku alami ketika ada dia di dekatku. Tapi ini lebih lebih lebih dari itu. Karena dia mencariku. Ya, dia mencariku.
Ketika aku sedang mengontrol diriku untuk bersikap sewajarnya saja, Kalfa membalikan badannya. Aku terpaku lagi. Tak boleh! Kia kau jangan sampai berperilaku yang bisa membuat malu. Kontrol dirimu, Kia! Oh tidak bisa! Kalfa tersenyum kepadaku. Aku tak bisa mengontrol diri. Dia... sungguh tampan. Dan si tampan ini sedang memberikan senyum nya padaku.
“Kiafa, ini dari Bu Della. Katanya Bu Della minta tolong buat data anak-anak yang mau ikut perpisahan. Sama kontak orang tua mereka.” Suara ini masih tetap sama seperti ketika aku mendengar nya yang untuk pertama kali. Masih tetap indah dan membuat jantungku berdebar. Dia memberikan buku besar yang menjadi tugas ku dari Bu Della. Aku menerima nya. Dan dia pun tersenyum lagi. Lalu, dia membalikan badannya dan beranjak pergi. Tunggu! Aku belum mengucapkan terima kasih. Aku harus berbicara. Ayolah, Kia kontrol dirimu!
“Makasih... Kalfa.” Ucapku pelan. Suaraku bergetar. Aku berharap suara ku masih dapat dia dengar. Dia berhenti, lalu membalikan badannya. Dia memberiku senyum yang ke sekian kali. “Ok. Sama-sama.” Dan dia pun pergi. Aku terus melihatnya sampai dia berbelok di koridor.
 Aku masih tak menyangka hal ini akan terjadi. Aku membalikan badanku. Dan terus berjalan perlahan menuju ke tempat dudukku. Ketika aku ada di tengah kelas, aku tak bisa lagi menahannya. Aku melompat-lompat, berputar-putar, dan berteriak kecil mengungkapkan seberapa senang hatiku. Dan aku terdiam setelah cukup bagiku untuk melakukan hal itu. Mataku terpejam. Dan aku terdiam. Dan aku menyadari ada yang tidak beres dengan kelas. Kelas begitu sepi. Aku membuka mata dan terperangah. Teman-temanku sedang melihatiku dengan berbagai macam pandangan. Tapi hampir semua nya memberiku tatapan menggoda. Dan seketika bunyi suitan pun terdengar, disambut suitan yang lain, dan disambut dengan kata-kata mereka. “Uhuk Kiaaaa.” “Akhirnya Kia dapet peningkatan.” “Cieee Kiafaaa.” Oh tidak.
Ya teman-teman ku memang hampir semua nya tahu kalau aku menyukai Kalfa. Ini semua karena mulut Tia yang kadang tak punya rem. Dan berakhir dengan teman-teman sekelas ku tahu. Tapi aku bersyukur, mereka semua tidak membocorkannya. Ya. Kalau ada yang berani memberi tahu Kalfa, akan aku beri dia tangan mautku. Haha.
Aku duduk di tempat dudukku. Dan bisa dipastikan, Nana, Rere, dan Tia memandangi dengan pandangan menggoda. Dan aku hanya memberikan mereka senyum konyolku. Hari ini masuk ke dalam daftar hari terindah di dalam hidupku. The best day ever. Aku tak peduli lagi dengan ‘sesuatu yang baru’ yang aku putuskan tadi malam. Mungkin, kalian akan berpikir aku plin plan, tapi ya... memang benar aku ini plin plan jika berkaitan dengan Kalfa.

***

Aku butuh kamar mandi! Oh Ya Ampun! Aku sudah ingin ke kamar mandi sejak awal jam pelajaran ke dua, namun aku tahan karena jam tersebut adalah pelajaran Pak Deni, aku tak mau ketinggalan materi fisika. Aku tak ketinggalan saja nilai fisika ku buruk, bagaimana jika aku ketinggalan. Tapi sekarang aku benar-benar butuh ke kamar mandi! Aku berlari cepat menyusuri koridor sekolah yang terasa sangat jauh menuju ke kamar mandi. Oh sial! Ada Kalfa! Dan aku berhenti, lalu berbalik, dan berjalan kembali menuju kelas. Tapi kebutuhan ku tidak bisa di tunda lagi. Peduli amat dengan Kalfa! Aku lebih peduli dengan kebutuhan ku ini. Aku berbalik kembali. Dan Kalfa masih disana sedang berbicara dengan Rudi, ketua OSIS di sekolah kami. Aku berjalan cepat. Secepat yang aku bisa, karena ini sulit, kebutuhanku sudah diujung. Beberapa langkah lagi aku melewati Kalfa, dan..... bruk. Aku terjatuh. Sial! Sial! Sial! Aku malu sekali. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Oke. Berdiri. Lalu, berjalan dengan santai. Catat! Dengan santai. Ketika aku menarik napas dan bersiap untuk berdiri. Namun, ada tangan yang terjulur di depanku. Oh tidak! Kalfa! Apa ini akan berakhir seperti di film-film romantis? Kalfa menolong ku, Ya Ampun! Dengan gugup aku menerima uluran tangan Kalfa, dan menarik napas bersiap untuk mengucapkan terima kasih. Tetapi ketika aku menengadahkan wajahku, yang ada disana bukan wajah tampan Kalfa-ku. Tapi si wajah serius Rudi. “Hati-hati kalo jalan, Kiafa.” Aku hanya tersenyum kikuk kepada Rudi dan mengucapkan terima kasih. Aku melihat ke belakang Rudi dan mencari Kalfa, tapi Kalfa sudah tidak ada. Aku berjalan dengan rasa kecewa karena bukan Kalfa yang menolongku. Pada akhirnya, memang kami tak akan berakhir seperti di film-film romantis. Aku pun tersadar, kalau aku masih punya kebutuhan. Sial! Aku harus cepat!

***

Hah pusing! Sekarang ini aku dikamar, sedang belajar. Ya, belajar. Karena minggu depan aku akan menghadapi Ujian Nasional. Sebenarnya ketika di rumah aku jarang belajar, karena sudah bimbel di sekolah selama dua bulan terakhir ini. Tapi berhubung tinggal satu minggu lagi, ya mau tak mau aku harus belajar. Biologi ini catatannya segunung, ampun deh. Oke, cukup belajarnya. Aku mengambil handpone yang sudah dari sore tadi tak ku sentuh. Ada 3 pesan BBM. BC. BC. BC. Aku pun tersenyum sinis. Siapa juga yang akan mengirimimu pesan, Kia.
Aku membuka aplikasi LINE ku, dan segera membuka profil salah satu teman kontakku. Kalian tau siapa? Kalfa. Haha. Hebat kan aku bisa berteman dengannya di LINE ini. Hih, sebenarnya aku yang meng-invite nya. Untuk meng-invite nya saja butuh waktu dua jam untuk berpikir. Betapa payahnya Kia. Oh Kalfa lelah belajar. Sama denganku Kalfa, tapi sabar, hanya dua minggu lagi. Hihi.
Aku mematikan handpone ku, kemudian memejamkan mata. Dan muncul Kalfa. Seminggu lagi Ujian Nasional, itu berarti waktuku di sekolah pun tinggal sebentar. Dan itu berarti lagi, waktuku melihat Kalfa pun akan segera habis. Apa yang harus aku lakukan? Sampai saat ini, belum ada sama sekali keberanian muncul. Apa aku harus mengatakannya saat perpisahan? Oh tidak, tidak, aku tak mau. Yah, memang sepertinya aku ditakdirkan untuk tidak pernah menyatakan perasaan ku kepada Kalfa.


-Tbc-

Minggu, 08 Maret 2015

Just See You -1-


Menjejakan kaki di sekolah yang sudah memberi ilmu kepadaku selama hampir tiga tahun ini. Dan apa yang aku lakukan, datar. Tak ada yang istimewa. Aku, Kia. Kiafa Azura. Murid kelas tiga SMP. Aku murid biasa di sekolah ini. Catat! ‘Biasa’. Sama seperti hidupku. Biasa. Sangat. Tak ada yang spesial. Well, aku harus cepat-cepat ke kelas karena belum mengerjakan satu pun pr fisika. I hate that lesson!

Berjalan melewati koridor yang sudah ramai oleh murid-murid lain dengan cepat. Ralat. Sedikit cepat. Aku tak suka berjalan cepat, apalagi berlari. Huh, efek kurang berolahraga, mungkin? Ketika fikiranku mulai berlari kemana-kemana. Dan langkah mulai ku percepat karena jarak ke kelasku sudah dekat. Mulailah kebiasaan anehku.

Berhenti mendadak dan berdiri mematung beberapa saat. Asupan oksigen disekitarku seakan lenyap. Dan mataku hanya bisa focus ke satu arah. Ah salah, tepatnya satu orang. Dia, Kalfa. Kalfa Abrizan. Laki-laki yang ku suka secara diam-diam sejak awal tahun kedua aku bersekolah disini.

Setelah terpaku beberapa detik. Aku membalik badan ke samping kearah dinding sekolah. Berdiri sekaligus mencoba mencari asupan oksigen kembali sebanyak-banyaknya untuk menormalkan jantungku yang berdebar cepat. Berharap dia tidak melihatku. Ah, tak usah berharap. Aku rasa, walaupun aku tak melakukan kebiasaan aneh ku ini, dia juga tak akan melihatku kan? Tahu aku saja, mungkin tidak.

Aku mendengar suara tawanya melewatiku. Aku tersenyum sendiri. Hah, benar-benar awalan hari yang indah bukan? Mendengar suara tawanya. Ya, walaupun bukan karena diriku. Setelah semuanya normal, aku mempercepat jalan ke kelas yang tinggal berjarak 12 langkah saja.

Ketika masuk kelas, suasana sangat ricuh. Teman-temanku pindah dari meja satu ke meja lain, bergerombol di satu meja, marah-marah tidak jelas, apalagi kalau bukan karena pr fisika. Aku pun cepat menaruh tas dan mengambil buku latihan fisika, melirik ke arah jam kelas sebentar. 06:53. Oh mati saja kau, Kia! Kau hanya punya waktu 7 menit! Aku pun segera memutar kepala mencari dimana keberadaan Nana, Tia, atau Rere. Ah, Nana!

“Na!” Panggilku cukup bisa didengar olehnya. “Gue pinjem bu-“ belum selesai aku bicara, dia sudah melempar buku latihan fisikanya. “Tuh! Dijamin betul semua! Gue liat kelas sebelah tadi pagi.” Ucapnya dengan nada sombong yang menurutku salah tempat. “Huh, nyontek aja bangga!” Ejekku tanpa berkaca dahulu. “Yee, yaudah siniin kalo nggak mau!” Ucapnya, kesal dengan ejekanku. “Eh iya-iya, gue mau liat kok” Ucapku sambil memunculkan senyum semanis mungkin dan membawa buku Nana ke atas meja. It’s time to paste the home work!

***

09:58. Untuk kesekian kalinya aku melihat kearah jam. Lapar. Aku tak biasa sarapan, jadi sebelum waktu istirahat tiba, perut sudah berdemo. 09:59. Ayolah, 1 menit cepat datang! “Teng! Teng! Teng!” Akhirnya bunyi bel. “Ayo ayo ke kantin! Gue lapaaaar!” Rengek Tia sambil menarik-narik tanganku.

“Yaudah ayo perut gue juga udah minta diisi nih!” Jawabku. Dan kita pun menuju kantin dengan terburu-buru. Takut kehabisan meja kosong.

“Lo pada mau apaan? Gue yang pesenin aja.” Tanya Tia. “Kaya biasa aja gue.” Ucap Nana. “Gue juga, Ti.” Ucapku. “Yaudah gue juga kaya biasa deh.” Ucap Rere. Dan Tia pun bergegas membeli pesanan. Nana sibuk memperhatikan orang-orang di kantin. Rere sibuk dengan handpone nya, pasti Gio. Pacarnya. Mereka sudah pacaran cukup lama. Dari akhir tahun kedua kami di SMP. 1 tahun lebih, mungkin. Dan itu sukses membuat aku, Nana, dan Tia iri. Sedangkan aku, sibuk memperhatikan sosok yang berada di dua baris meja didepanku. Ya, Kalfa. Dia sedang asyik bersenda gurau dengan teman-temannya, dan sesekali tertawa memamerkan lesung pipinya yang terukir jelas di kedua pipinya. Tampan. Sangat.

“Ca to the pek deh. Hampir dua tahun begini mulu, Ki. Ngeliatin dari jauh mulu. Nggak bosen apa?” Ejekan Rere hanya kubalas dengan senyum kecut. “Kia, kita bentar lagi mau lulus nih, gimana kalau lo nyatain perasaan lo ke Kalfa. Udah nggak usah mikirin malu nggak diterima atau gimana. Toh kalau misalnya emang nggak diterima, kita udah mau lulus ini. Jadi nanggung malu nya nggak kelamaan. Ya kan, Re?” Ucap Nana dengan usul yang pasti kutolak itu. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan menghela nafas. Aku tak perlu melakukan hal itu kan? Itu hal yang sangat bodoh. Aku melanjutkan memakan pesananku. Tentunya sambil sesekali melirik ke arah Kalfa. Duh, apa emang tak ada satu pun orang yang bisa membuat aku tak terpengaruh oleh kehadiran Kalfa lagi?

***

Aku berjalan perlahan di koridor yang sudah sepi. Hhh anginnya sejuk. Membuat rasa lelah hilang perlahan. Aku pulang telat, yah resiko sebagai ketua kelas. Aku dimintai tolong oleh wali kelas untuk menulis identitas murid-murid kelas untuk raport. Tak kusangka, dalam waktu tak ada tiga bulan, aku akan lulus dari sekolah ini. Senang. Tapi, kalau mengingat aku mungkin saja tak akan bertemu dengan Kalfa, membuat hati ku resah. Tapi ya apa mau dikata? Justru itu waktu untuk mencoba melupakan dia.

Aku mematung seketika. Fikiran ku tentang lulus dari sekolah ini terputus begitu saja. Kenapa? Kau pasti tahu. Ya. Dia ada di depanku sekarang. Sedang berjalan sendirian dengan earphone yang bertengger manis di telinganya. Tampan. Selalu. Dan ketika aku tersadar dari lamunanku. Aku pun memilih menundukkan kepalaku agar tak bertatapan ketika lewat. Dan aku mempercepat langkah kaki. Tetapi hal yang terjadi tak pernah aku fikirkan. Bahu ku dan bahu nya bertabrakan sedikit. Membuat aku kaget. Dan sukses membuat dia melepas satu earphone nya dan dia berbicara untuk pertama kalinya kepadaku. Pertama kali. “Eh, maaf.” Ucapnya. Oh Tuhan, suaranya akan ku simpan dalam otakku. Ini seperti keajaiban dia berbicara padaku.

Aku tersadar dari lamunanku. Dan terlihat wajah Kalfa yang bingung menatapku. Dan oh ya ampun, wajahku pasti memalukan. Seketika aku merasa wajahku memanas. Dia berbicara padaku dan menatapku! Ini keajaiban beruntun. Aku pun salah tingkah dan langsung pergi dengan langkah kaki cepat menjauhi Kalfa. Pasti dia semakin bingung dan menganggapku aneh. Dan yang lebih parah, dia akan menganggapku gadis yang tak tau sopan santun. Habislah riwayatmu, Kia!

***

Sudah jam delapan malam dan aku belum keluar dari kamar sejak pulang sekolah. Selesai mandi aku langsung menuju kasurku dan melompat-lompat layaknya orang gila. Aku memejamkan mataku dan memutar kembali kejadian dengan Kalfa tadi. Kejadian yang hanya beberapa detik itu, seakan membayar semua perasaan ku selama dua tahun ini. Aku tau ini berlebihan. Tapi ini yang kurasa. Aku senang. Sangat sangat senang. Kalfa menatapku dan berbicara padaku untuk pertama kalinya. Mungkin aku akan diejek payah oleh Nana, Tia, dan Rere. Tapi siapa yang peduli pada mereka? Aku tak akan menceritakan kejadian tadi pada mereka bertiga. Aku akan menyimpan kejadian indah hari ini sendiri. Akan ku ingat jelas bagaimana suaranya dan ekspresinya tadi. Kau hebat, Kia! Ini benar-benar keajaiban.

***

“Woy mbak! Ayo kek cepetan kalo mau nebeng mah!” Itu suara Kevin. Adikku satu-satunya. Dia kelas 1 SMP di sekolah yang sama denganku. Aku harus segera keluar dari kamar, kalau tidak mau ditinggal pergi. Sekali lagi kulihat penampilanku di cermin. Oke, siap untuk ke sekolah.

***

“Mbak, itu kak Kalfa kan ya?” Tanya Kevin. Aku yang sedang duduk tenang di jok belakang motornya pun kaget. Dan bertanya pelan “Mana, Kev?” sambil mencari-cari keberadaan Kalfa. Kevin ini junior Kalfa di ekstrakulikuler PMR (Palang Merah Remaja) di sekolah dan perlu kalian catat Kevin sama sekali tak tahu tentang perasaanku pada Kalfa. “Itu tuh samping mobil depan kita.” Jawab Kevin kemudian. Dan seketika itu pula, jantungku seperti di remas. Sakit. Kalian tau kenapa? Kalfa-ku berangkat bareng si kampret Rila! Sial! Kalian tau Rila siapa? Dia itu mantan Kalfa. Dan ngapain sekarang mereka berangkat bareng lagi? Jangan katakan kalau mereka mulai dekat lagi! Enggak boleh! Oh Tuhan, jangan lagi tolong.....

***

Efek kejadian tadi dijalan adalah langkahku yang gontai, badan ku yang lemas, dan tak ada lagi semangat untuk menjalani hari ini. Oke, Kalfa hari ini moodbreaker. Hah!

Masuk ke kelas aku langsung duduk di kursiku dan menaruh kepalaku di atas meja. Suasana kelas yang ramai seperti pasar malam tak ku pedulikan. Pasti pr bahasa inggris. Dan karena tadi malam suasana hatiku sedang berbunga-bunga, maka aku mengerjakan pr membuat beberapa kalimat present continuous tense dan past continuous tense. Lagi pula, aku tak berani menyalin pekerjaan punya yang lain karena aku tak ada niat untuk mendapat nilai setengah. Kalian tau? Mr. Ali akan memberikan nilai setengah dari hasil asli yang kalian dapat jika menurut dia pekerjaan kalian sama dengan teman yang lain. Aku tak mau nilai bahasa inggris ku hancur.

“Wey! Ngelamun aja lo. What’s wrong?” Fikiran ku tentang Mr. Ali pun terputus karena pertanyaan Nana yang sudah duduk disampingku sambil menumpukan dagunya di tangan. “Enggak.” Jawabku singkat, jujur saja aku masih di zona badmood gara-gara tadi pagi. “Kalfa?” Tanya Nana tepat sasaran. Aku langsung mengalihkan wajahku ke arahnya dan memasang wajah –kok-lo-tau-sih- dengan kening berkerut. “Apalagi sih, yang buat lo jadi menye-menye gak jelas gini, kalo bukan gara-gara si Kalfa.” Aku hanya menghela napas mendengar penuturannya. “Lo harus nyatain perasaan lo, Kia. Biar lo tenang dan lega gitu. Siapa tau abis lo nyatain perasaan lo, eh lo sama dia malah jadi deket. Dia suka sama lo. Dan jeng jeng jeng kalian jadian. Ya kan?” Ucapnya sambil bertepuk tangan sekali di kalimat terakhir.

“Ini gak semudah yang lo bayangin, Na. Ya iya Alhamdulillah kalo gue sama dia deket terus jeng jeng jeng jadian. Kalo dia malah mandang gue seakan-akan gue cewek paling gak waras di muka bumi dan dia ngejauhin gue layaknya gue terjangkit virus paling mematikan yang menular, gimana?” Aku mengeluarkan apa yang ada di pikiran ku pada Nana.

Dan dia terdiam dan aku tau dari matanya yang terfokus padaku dan keningnya yang berkerut, dia sedang berpikir keras. “Gue gak bisa pastiin kalo lo nyatain perasaan lo, Kalfa akan bersikap seperti yang gue pikir. Tapi lo juga gak bisa langsung yakin gitu aja kalo Kalfa akan bersikap seperti yang lo pikir. Dan ini juga hak lo mau nyatain perasaan lo ke Kalfa atau enggak. Tapi gue sebagai sahabat cuma mau yang terbaik buat lo. Udah dua tahun suka sama cowok. Tapi gak berani bilang. Jangan kan bilang, deketin aja gak mau. Kita mau lulus bentar lagi. Lo mesti pikirin baik-baik apa yang gue bilang. Jangan sampai lo nyesel nantinya, oke?” ucap Nana dengan nada yakin. Dan aku hanya bisa mengangguk. Entahlah saat ini otak ku kacau, seakan pikiran-pikiranku melayang dan membuat kepalaku pusing. Aku harus berhenti memikirkan ini. Setidaknya untuk sementara.


-Tbc-

Just See You


I can see you in my own world. I don’t need you to know. But, one thing. I love you. And that’s enough for me.

Kiafa Azura jatuh cinta dengan Kalfa Abrizan. Tetapi Kalfa sama sekali tak mengenal Kia. Dan Kia juga tak melakukan apa-apa untuk membuat Kalfa mengenalnya. Kia hanya bisa diam, diam, diam. Kia juga tak peduli, Kalfa mengenalnya atau tidak. Kia percaya takdir. Kalau takdir mereka untuk bersama, pasti akan ada jalan.