Minggu, 08 Maret 2015

Just See You -1-


Menjejakan kaki di sekolah yang sudah memberi ilmu kepadaku selama hampir tiga tahun ini. Dan apa yang aku lakukan, datar. Tak ada yang istimewa. Aku, Kia. Kiafa Azura. Murid kelas tiga SMP. Aku murid biasa di sekolah ini. Catat! ‘Biasa’. Sama seperti hidupku. Biasa. Sangat. Tak ada yang spesial. Well, aku harus cepat-cepat ke kelas karena belum mengerjakan satu pun pr fisika. I hate that lesson!

Berjalan melewati koridor yang sudah ramai oleh murid-murid lain dengan cepat. Ralat. Sedikit cepat. Aku tak suka berjalan cepat, apalagi berlari. Huh, efek kurang berolahraga, mungkin? Ketika fikiranku mulai berlari kemana-kemana. Dan langkah mulai ku percepat karena jarak ke kelasku sudah dekat. Mulailah kebiasaan anehku.

Berhenti mendadak dan berdiri mematung beberapa saat. Asupan oksigen disekitarku seakan lenyap. Dan mataku hanya bisa focus ke satu arah. Ah salah, tepatnya satu orang. Dia, Kalfa. Kalfa Abrizan. Laki-laki yang ku suka secara diam-diam sejak awal tahun kedua aku bersekolah disini.

Setelah terpaku beberapa detik. Aku membalik badan ke samping kearah dinding sekolah. Berdiri sekaligus mencoba mencari asupan oksigen kembali sebanyak-banyaknya untuk menormalkan jantungku yang berdebar cepat. Berharap dia tidak melihatku. Ah, tak usah berharap. Aku rasa, walaupun aku tak melakukan kebiasaan aneh ku ini, dia juga tak akan melihatku kan? Tahu aku saja, mungkin tidak.

Aku mendengar suara tawanya melewatiku. Aku tersenyum sendiri. Hah, benar-benar awalan hari yang indah bukan? Mendengar suara tawanya. Ya, walaupun bukan karena diriku. Setelah semuanya normal, aku mempercepat jalan ke kelas yang tinggal berjarak 12 langkah saja.

Ketika masuk kelas, suasana sangat ricuh. Teman-temanku pindah dari meja satu ke meja lain, bergerombol di satu meja, marah-marah tidak jelas, apalagi kalau bukan karena pr fisika. Aku pun cepat menaruh tas dan mengambil buku latihan fisika, melirik ke arah jam kelas sebentar. 06:53. Oh mati saja kau, Kia! Kau hanya punya waktu 7 menit! Aku pun segera memutar kepala mencari dimana keberadaan Nana, Tia, atau Rere. Ah, Nana!

“Na!” Panggilku cukup bisa didengar olehnya. “Gue pinjem bu-“ belum selesai aku bicara, dia sudah melempar buku latihan fisikanya. “Tuh! Dijamin betul semua! Gue liat kelas sebelah tadi pagi.” Ucapnya dengan nada sombong yang menurutku salah tempat. “Huh, nyontek aja bangga!” Ejekku tanpa berkaca dahulu. “Yee, yaudah siniin kalo nggak mau!” Ucapnya, kesal dengan ejekanku. “Eh iya-iya, gue mau liat kok” Ucapku sambil memunculkan senyum semanis mungkin dan membawa buku Nana ke atas meja. It’s time to paste the home work!

***

09:58. Untuk kesekian kalinya aku melihat kearah jam. Lapar. Aku tak biasa sarapan, jadi sebelum waktu istirahat tiba, perut sudah berdemo. 09:59. Ayolah, 1 menit cepat datang! “Teng! Teng! Teng!” Akhirnya bunyi bel. “Ayo ayo ke kantin! Gue lapaaaar!” Rengek Tia sambil menarik-narik tanganku.

“Yaudah ayo perut gue juga udah minta diisi nih!” Jawabku. Dan kita pun menuju kantin dengan terburu-buru. Takut kehabisan meja kosong.

“Lo pada mau apaan? Gue yang pesenin aja.” Tanya Tia. “Kaya biasa aja gue.” Ucap Nana. “Gue juga, Ti.” Ucapku. “Yaudah gue juga kaya biasa deh.” Ucap Rere. Dan Tia pun bergegas membeli pesanan. Nana sibuk memperhatikan orang-orang di kantin. Rere sibuk dengan handpone nya, pasti Gio. Pacarnya. Mereka sudah pacaran cukup lama. Dari akhir tahun kedua kami di SMP. 1 tahun lebih, mungkin. Dan itu sukses membuat aku, Nana, dan Tia iri. Sedangkan aku, sibuk memperhatikan sosok yang berada di dua baris meja didepanku. Ya, Kalfa. Dia sedang asyik bersenda gurau dengan teman-temannya, dan sesekali tertawa memamerkan lesung pipinya yang terukir jelas di kedua pipinya. Tampan. Sangat.

“Ca to the pek deh. Hampir dua tahun begini mulu, Ki. Ngeliatin dari jauh mulu. Nggak bosen apa?” Ejekan Rere hanya kubalas dengan senyum kecut. “Kia, kita bentar lagi mau lulus nih, gimana kalau lo nyatain perasaan lo ke Kalfa. Udah nggak usah mikirin malu nggak diterima atau gimana. Toh kalau misalnya emang nggak diterima, kita udah mau lulus ini. Jadi nanggung malu nya nggak kelamaan. Ya kan, Re?” Ucap Nana dengan usul yang pasti kutolak itu. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan menghela nafas. Aku tak perlu melakukan hal itu kan? Itu hal yang sangat bodoh. Aku melanjutkan memakan pesananku. Tentunya sambil sesekali melirik ke arah Kalfa. Duh, apa emang tak ada satu pun orang yang bisa membuat aku tak terpengaruh oleh kehadiran Kalfa lagi?

***

Aku berjalan perlahan di koridor yang sudah sepi. Hhh anginnya sejuk. Membuat rasa lelah hilang perlahan. Aku pulang telat, yah resiko sebagai ketua kelas. Aku dimintai tolong oleh wali kelas untuk menulis identitas murid-murid kelas untuk raport. Tak kusangka, dalam waktu tak ada tiga bulan, aku akan lulus dari sekolah ini. Senang. Tapi, kalau mengingat aku mungkin saja tak akan bertemu dengan Kalfa, membuat hati ku resah. Tapi ya apa mau dikata? Justru itu waktu untuk mencoba melupakan dia.

Aku mematung seketika. Fikiran ku tentang lulus dari sekolah ini terputus begitu saja. Kenapa? Kau pasti tahu. Ya. Dia ada di depanku sekarang. Sedang berjalan sendirian dengan earphone yang bertengger manis di telinganya. Tampan. Selalu. Dan ketika aku tersadar dari lamunanku. Aku pun memilih menundukkan kepalaku agar tak bertatapan ketika lewat. Dan aku mempercepat langkah kaki. Tetapi hal yang terjadi tak pernah aku fikirkan. Bahu ku dan bahu nya bertabrakan sedikit. Membuat aku kaget. Dan sukses membuat dia melepas satu earphone nya dan dia berbicara untuk pertama kalinya kepadaku. Pertama kali. “Eh, maaf.” Ucapnya. Oh Tuhan, suaranya akan ku simpan dalam otakku. Ini seperti keajaiban dia berbicara padaku.

Aku tersadar dari lamunanku. Dan terlihat wajah Kalfa yang bingung menatapku. Dan oh ya ampun, wajahku pasti memalukan. Seketika aku merasa wajahku memanas. Dia berbicara padaku dan menatapku! Ini keajaiban beruntun. Aku pun salah tingkah dan langsung pergi dengan langkah kaki cepat menjauhi Kalfa. Pasti dia semakin bingung dan menganggapku aneh. Dan yang lebih parah, dia akan menganggapku gadis yang tak tau sopan santun. Habislah riwayatmu, Kia!

***

Sudah jam delapan malam dan aku belum keluar dari kamar sejak pulang sekolah. Selesai mandi aku langsung menuju kasurku dan melompat-lompat layaknya orang gila. Aku memejamkan mataku dan memutar kembali kejadian dengan Kalfa tadi. Kejadian yang hanya beberapa detik itu, seakan membayar semua perasaan ku selama dua tahun ini. Aku tau ini berlebihan. Tapi ini yang kurasa. Aku senang. Sangat sangat senang. Kalfa menatapku dan berbicara padaku untuk pertama kalinya. Mungkin aku akan diejek payah oleh Nana, Tia, dan Rere. Tapi siapa yang peduli pada mereka? Aku tak akan menceritakan kejadian tadi pada mereka bertiga. Aku akan menyimpan kejadian indah hari ini sendiri. Akan ku ingat jelas bagaimana suaranya dan ekspresinya tadi. Kau hebat, Kia! Ini benar-benar keajaiban.

***

“Woy mbak! Ayo kek cepetan kalo mau nebeng mah!” Itu suara Kevin. Adikku satu-satunya. Dia kelas 1 SMP di sekolah yang sama denganku. Aku harus segera keluar dari kamar, kalau tidak mau ditinggal pergi. Sekali lagi kulihat penampilanku di cermin. Oke, siap untuk ke sekolah.

***

“Mbak, itu kak Kalfa kan ya?” Tanya Kevin. Aku yang sedang duduk tenang di jok belakang motornya pun kaget. Dan bertanya pelan “Mana, Kev?” sambil mencari-cari keberadaan Kalfa. Kevin ini junior Kalfa di ekstrakulikuler PMR (Palang Merah Remaja) di sekolah dan perlu kalian catat Kevin sama sekali tak tahu tentang perasaanku pada Kalfa. “Itu tuh samping mobil depan kita.” Jawab Kevin kemudian. Dan seketika itu pula, jantungku seperti di remas. Sakit. Kalian tau kenapa? Kalfa-ku berangkat bareng si kampret Rila! Sial! Kalian tau Rila siapa? Dia itu mantan Kalfa. Dan ngapain sekarang mereka berangkat bareng lagi? Jangan katakan kalau mereka mulai dekat lagi! Enggak boleh! Oh Tuhan, jangan lagi tolong.....

***

Efek kejadian tadi dijalan adalah langkahku yang gontai, badan ku yang lemas, dan tak ada lagi semangat untuk menjalani hari ini. Oke, Kalfa hari ini moodbreaker. Hah!

Masuk ke kelas aku langsung duduk di kursiku dan menaruh kepalaku di atas meja. Suasana kelas yang ramai seperti pasar malam tak ku pedulikan. Pasti pr bahasa inggris. Dan karena tadi malam suasana hatiku sedang berbunga-bunga, maka aku mengerjakan pr membuat beberapa kalimat present continuous tense dan past continuous tense. Lagi pula, aku tak berani menyalin pekerjaan punya yang lain karena aku tak ada niat untuk mendapat nilai setengah. Kalian tau? Mr. Ali akan memberikan nilai setengah dari hasil asli yang kalian dapat jika menurut dia pekerjaan kalian sama dengan teman yang lain. Aku tak mau nilai bahasa inggris ku hancur.

“Wey! Ngelamun aja lo. What’s wrong?” Fikiran ku tentang Mr. Ali pun terputus karena pertanyaan Nana yang sudah duduk disampingku sambil menumpukan dagunya di tangan. “Enggak.” Jawabku singkat, jujur saja aku masih di zona badmood gara-gara tadi pagi. “Kalfa?” Tanya Nana tepat sasaran. Aku langsung mengalihkan wajahku ke arahnya dan memasang wajah –kok-lo-tau-sih- dengan kening berkerut. “Apalagi sih, yang buat lo jadi menye-menye gak jelas gini, kalo bukan gara-gara si Kalfa.” Aku hanya menghela napas mendengar penuturannya. “Lo harus nyatain perasaan lo, Kia. Biar lo tenang dan lega gitu. Siapa tau abis lo nyatain perasaan lo, eh lo sama dia malah jadi deket. Dia suka sama lo. Dan jeng jeng jeng kalian jadian. Ya kan?” Ucapnya sambil bertepuk tangan sekali di kalimat terakhir.

“Ini gak semudah yang lo bayangin, Na. Ya iya Alhamdulillah kalo gue sama dia deket terus jeng jeng jeng jadian. Kalo dia malah mandang gue seakan-akan gue cewek paling gak waras di muka bumi dan dia ngejauhin gue layaknya gue terjangkit virus paling mematikan yang menular, gimana?” Aku mengeluarkan apa yang ada di pikiran ku pada Nana.

Dan dia terdiam dan aku tau dari matanya yang terfokus padaku dan keningnya yang berkerut, dia sedang berpikir keras. “Gue gak bisa pastiin kalo lo nyatain perasaan lo, Kalfa akan bersikap seperti yang gue pikir. Tapi lo juga gak bisa langsung yakin gitu aja kalo Kalfa akan bersikap seperti yang lo pikir. Dan ini juga hak lo mau nyatain perasaan lo ke Kalfa atau enggak. Tapi gue sebagai sahabat cuma mau yang terbaik buat lo. Udah dua tahun suka sama cowok. Tapi gak berani bilang. Jangan kan bilang, deketin aja gak mau. Kita mau lulus bentar lagi. Lo mesti pikirin baik-baik apa yang gue bilang. Jangan sampai lo nyesel nantinya, oke?” ucap Nana dengan nada yakin. Dan aku hanya bisa mengangguk. Entahlah saat ini otak ku kacau, seakan pikiran-pikiranku melayang dan membuat kepalaku pusing. Aku harus berhenti memikirkan ini. Setidaknya untuk sementara.


-Tbc-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar