Anak-anak
merupakan harapan bangsa untuk menjadikan Negara Indonesia lebih maju di masa
depan. Setiap anak berhak mendapatkan hak dalam pendidikan, mendapatkan
perlindungan, kenyamanan, dan kebahagiaan. Namun, sekarang ada begitu banyak
anak-anak yang tidak mendapatkan haknya karena hidup dengan terlantar. Anak
terlantar ini seharusnya mendapat perlindungan dari negara sesuai dengan pasal
34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara. Kurangnya tindakan nyata dari pemerintah dalam menangani
anak-anak terlantar ini membuat jumlahnya terus-menerus bertambah dari waktu ke
waktu.
Kata
Kunci :Anak terlantar, Pemerintah, Pendidikan
Setiap manusia membutuhkan manusia yang lainnya untuk
saling bersosialisasi. Tidak ada seorangpun yang mampu hidup sendirian. Tanpa
bantuan individu yang lain, manusia tidak akan dapat berjalan dengan tegak.
Dengan adanya bantuan orang lain, manusia dapat berkomunikasi dan dapat
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya. Manusia memiliki perbedaan pada
jenis kelamin, suku, bangsa, dan warna kulitnya. Selain itu, juga dalam
kehidupan ekonomi yang manusia alami. Ada manusia yang hidup serba berkecukupan
dan ada pula manusia yang hidup serba kekurangan. Manusia yang hidup serba
kekurangan, antara lain manusia yang berada dalam keadaan fakir, miskin, dan
terlantar.
Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 terdapat salah satu cita-cita bangsa yang digagas oleh
para pendiri bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan
kehidupan yang layak.Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pada Pasal 34 ayat (1).
Anak-anak adalah suatu harapan bangsa untuk menjadikan
Negara Indonesia lebih maju pada masa yang akan datang. Sudah seharusnya
anak-anak mendapatkan pendidikan yang layak karena semakin tinggi kualitas
pendidikan yang mereka capai, akan semakin berguna pula mereka bagi masa depan
negara Indonesia. Namun, pada kenyataannya banyak anak terlantar yang tidak
mengenyam bangku pendidikan yang semestinya mereka dapatkan.
Definisi dari anak jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa yang
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan aktivitas
untuk mendapatkan uang untuk mempertahankan hidupnya yang terkadang mendapat
tekanan fisik atau mental dari lingkunganya (Suyanto, 2010: 186-187).
Hak asasi warga negara atas hak mendapatkan pendidikan
seharusnya diterapkan secara progresif. Teori hak asasi manusia kontemporer menjelaskan
mengenai ketentuan-ketentuan dalam menciptakan kewajiban negara agar terpenuhi
hak atas pendidikan melalui tindakan-tindakan langsung (Alston, 1992: 473).
Kebanyakan ketentuan menetapkan beberapa hal sebagai
kewajiban atas hasil, yaitu sebagai berikut (Nowak, 2001: 273).
1. Pendidikan dasar seharusnya bebas dan wajib bagi semua orang.
1. Pendidikan dasar seharusnya bebas dan wajib bagi semua orang.
2. Pendidikan lanjutan seharusnya tersedia dan terjangkau untuk semua
orang; disamping itu pendidikan yang bebas biaya untuk orang-orang yang kurang
mampu hendaknya dilakukan secara progresif.
3. Pendidikan tinggi seharusnya dapat dijangkau oleh semua orang dilihat
berdasarkan kemampuannya; pendidikan yang bebas biaya hendaknya diupayakan
secara khusus.
4. Pendidikan dasar seharusnya dikhususkan pelaksanaannya untuk orang-orang
yang tidak mendapatkan pendidikan dasar yang lengkap.
5. Berbagai program pendidikan khusus hendaknya diadakan bagi para disable.
6. Penumpasan buta huruf dan kebodohan.
Dalam Deklarasi Universal HAM Pasal 1, menyatakan bahwa
semua orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan seharusnya
diselenggarakan secara gratis tanpa biaya, sekurang-kurangnya pada tingkat
dasar. Di samping itu, pendidikan dasar semestinya bersifat wajib untuk seluruh
anak Indonesia; pendidikan keahlian dan teknik seharusnya dibuat secara umum
untuk diikuti bagi yang berminat; maupun pendidikan tinggi seharusnya dapat
diakses secara sama bagi setiap individu atas dasar kelayakan.
Di dalam Pasal 2 Deklarasi HAM juga menyatakan bahwa pendidikan seharusnya ditujukan untuk
meningkatkan secara maksimal kepribadian manusia dan memperkokoh penghormatan
terhadap HAM dan kebebasan asasi. Pendidikan seharusnya menciptakan rasa
pengertian, tenggang rasa, maupun persahabatan antar berbagai bangsa tanpa melihat
perbedaan suku dan agama, dan seharusnya membantu kegiatan PBB untuk memelihara
perdamaian. Secara singkat, terdapat empat butir pengakuan masyarakat
internasional atas hak-hak yang dimiliki oleh anak, yakni sebagai berikut
(Muhtaj, 2008: 226).
1. Hak terhadap kelangsungan hidup.
2. Hak terhadap perlindungan.
3. Hak untuk tumbuh-kembang.
4. Hak untuk berpartisipasi.
Untuk memenuhi tujuan dari sebuah konstitusi, pemerintah
telah mengadakan program Wajib Belajar 9 tahun.Sebelumnya program tersebut
hanya sampai Sekolah Menengah Pertama saja. Program tersebut hendaknya dibiayai
oleh pemerintah dan tidak boleh memungut biaya kepada peserta didik, sejak
bulan Juli tahun 2005 pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan lewat Program
BOS yaitu dengan mengeluarkan dana senilai Rp. 6,27 triliun dari Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM untuk kurang lebih 39,61 juta siswa Sekolah
Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di seluruh wilayah Indonesia. Namun, jumlah
dana yang dikeluarkan untuk pendidikan masih sangat kurang yaitu pada tahun
2006 jumlah dana yang dikeluarkan hanya 8,6% dari anggaran APBN (Suryono, 2007:
2).
Usaha perlindungan hukum bagi anak diartikan sebagai
usaha perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak serta
berbagai kepentingan yang berhubungan dengan masa depan yang baik bagi anak.
Masalah perlindungan hukum bagi anak tentulah mencakup ruang lingkup yang
sangat luas (Arief, 1998: 153).
Kasus kemiskinan tidak hanya memberikan kontribusi dalam
bertambahnya jumlah pengangguran dan kasus kriminal di Indonesia, namun juga
ikut menambah jumlah anak terlantar di Indonesia yang seharusnya dipelihara
oleh negara sebagai calon masa depan bangsa. Gelandangan, pengemis, pengamen,
dan anak jalanan adalah cerminan kehidupan fakir miskin dan anak terlantar. Mereka
dapat begitu mudah ditemui di kota-kota besar.Dan jumlah mereka selalu
bertambah setiap tahunnya. Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa,
data anak telantar ada 4,1 juta anak jalanan dan anak yang dieksploitasi 35
ribu anak. Sementara, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) merilis ada 18
ribu anak korban eksploitasi.
Tidak banyak tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/kota untuk mengurangi jumlah anak terlantar.Anak terlantar di
Indonesia semakin banyak karena tidak adanya program pemberdayaan mereka.Anak
terlantar dan fakir miskin ini merupakan indikator kemiskinan yang terjadi di
suatu daerah.
Dalam Pasal 34 ayat (1), bisa menjadi memiliki arti yang
berbeda-beda. Hal ini sangat bergantung
dari sisi mana seseorang memaknainya. Jumlah fakir miskin dan anak
terlantar yang terus bertambah bisa menunjukkan kurangnya kemampuan negara
dalam memberikan penghidupan yang layak kepada mereka. Namun, terus
bertambahnya mereka juga dapat dibuktikan dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut
karena negara memang “memelihara” (membiarkan tumbuh) mereka.
Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Prawansa, pemerintah sudah memberikan perhatian serius terhadap nasib dan
masa depan anak-anak jalanan. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya Rumah Perlindungan
Sosial Anak (RPSA).
Perlindungan terhadap anak melalui RPSA sebenarnya tidak
sekadar bangunan fisik dilengkapi ruangan yang berbentuk shelter, melainkan
juga harus dilengkapi fasilitas penunjang. Di antara fasilitas tersebut, yaitu
ada konseling, termasuk bagi bayi maupun balita yang telah diberi obat-obat
penenang tertentu, maka wajib diasuh oleh petugas khusus. Kelengkapan RPSA di
masing-masing daerah bisa disinergikan dengan Kementrian sosial, sehingga bisa
disediakan para kanselor sesuai SOP pengasuhan juga ditambah tim trauma
konseling dan trauma healing.
Peran pemda dan jajaran kepolisian di seluruh Indonesia,
dalam memberikan perlindungan kepada anak terlantar membutuhkan persetujuan
RPSA melalui rumah perlindungan atau save house.
Dua puluh empat tahun yang lampau, Indonesia menyatakan
komitmen untuk menjamin anak diberikan masa depan yang lebih baik. Sejak itu
tercapailah kemajuan besar, sebagaimana tercantum dalam agenda pemerintah
Indonesia tentang Pelaksanaan Konvensi Anak ke Komite Hak Anak, Jenewa, lebih
banyak anak bersekolah dibandingkan sebelumnya,
anak mulai terlibat aktif dalam keputusan yang menyangkut kehidupan
mereka, dan sudah ditentukan pula undang-undang yang melindungi anak.
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 pun sudah menegaskan bahwa
anak terlantar dipelihara oleh Negara. Namun, aturan tersebut seakan hanya
menjadi penghias di buku Undang-Undang saja, karena pada kenyataannya jumlah
anak terlantar semakin banyak. Tidak ada tindakan dalam kehidupan nyata dalam
menangani jumlah yang semakin banyak itu.
Orang tua yang tidak bertanggung jawab dalam mengasuh
anak juga patut untuk disalahkan. Sekarang ini, banyak sekali orang tua yang
menelantarkan anaknya. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ekonomi. Ketidakmampuan
orang tua dalam memenuhi biaya hidup anak mereka, membuat mereka mengambil
jalan yang paling mudah yaitu dengan membuang anak mereka.
Namun, ada juga yang justru menyuruh anak mereka untuk
mencari uang di jalan. Berpura-pura menjadi pengemis, pengamen, dan anak
jalanan. Banyak sekali anak yang seharusnya dapat menikmati masa indah mereka,
bersusah payah di bangku sekolah untuk belajar keras dan meraih cita-cita,
namun justru diperintahkan oleh orang tua mereka sendiri untuk membantu
memenuhi perekonomian keluarga.
Disinilah tugas pemerintah untuk memberantas mereka. Memberikan
perlindungan bagi mereka yang benar-benar kekurangan dan memberikan arahan bagi
mereka yang hanya ingin menghasilkan uang tanpa usaha apapun. Karena hak anak
adalah untuk mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan kehidupan yang layak.
Mereka tidak boleh memikirkan cara menghasilkan uang di usia yang masih begitu
kecil. Usia yang hanya boleh memikirkan kesenangan dan kebahagiaan saja.
Anak-anak adalah harta penting bagi bangsa. Jika mereka
dididik dengan baik dan benar, maka mereka akan menjadi penerus bangsa yang
dapat membuat maju bangsa Indonesia. Dalam pengimplementasian
perundang-undangan di Indonesia, pendidikan belum menjadi prioritas yang harus
didahulukan. Pendidikan di dalam peraturan perundang-undangan, contohnya
terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 28 C, pasal 28 E, pasal 31, dan pasal
34. Ada juga Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan
Nasional, UU No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak, ataupun UU No. 4
Tahun 1979 yang mengatur tentang Kesejahteraan Anak.
Dari semua peraturan tersebut, pendidikan merupakan suatu
hak dari setiap Warga Negara Indonesia; termasuk anak terlantar, anak kurang
mampu, anak jalanan dan lain sebagainya. Akan tetapi pada kenyataannya,
kelompok tersebut belum memperoleh akses pendidikan yang menyeluruh (merata)
dan adil.Bukannya mendapatkan pendidikan yang nyata dari pemerintah, mereka
justru tidak “dianggap” keberadaannya.
Hal ini sangat bertentangan dengan mahalnya biaya
pendidikan. Dampak dari mahalnya biaya pendidikan adalah semakin banyaknya anak
yang putus sekolah, bahkan banyak anak yang tidak bisa sekolah hanya karena
masalah biaya (faktor finansial). Apalagi untuk anak-anak terlantar. Jangankan
untuk mendapat pendidikan yang berkualitas, untuk membaca atau berhitung saja
masih banyak dari mereka yang merasa kesulitan. Tidak adanya bimbingan dari
orang-orang yang berpendidikan dan tidak adanya kepedulian dari pemerintah
membuat hidup mereka semakin susah saja.
Padahal sudah
jelas termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban
mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap orang memiliki hak untuk mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, yakni mendapatkan pendidikan untuk
meningkatkan kualitas hidupnya. Namun, angka anak putus sekolah masih tinggi.
Apalagi bagi anak-anak jalanan yang bahkan tidak bisa merasakan duduk di kursi
sebuah kelas. Hubungan masalah sosial dalam kasus ini dikarenakan ketidak
berfungsinya lembaga pemerintah sebagai pelaksana konstitusi yang sudah
diamanahkan kepada lembaga pemerintah ini. Masalah ketidak adilan
pendidikan anak jalanan dan terlantar
ini tidak dapat dipandang dari segi yuridis saja. Perlu juga pendekatan yang
lebih luas yaitu dari segi sosial, ekonomi,
dan budaya.
Kehidupan
anak-anak terlantar ini juga sangat miris. Sering kita lihat di berita, banyak
sekali kasus pembunuhan dan tindak seksual yang menimpa anak jalanan. Banyak
sekali kasus terhadap anak-anak jalanan. Ini menjadi hal yang sangat serius
yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Karena jika terus dibiarkan, akan
memberikan dampak buruh pada anak-anak tersebut. Mental mereka akan terganggu
dan bisa saja menimbulkan trauma yang berkepanjangan.
Dalam Pasal 6
Ayat 2 PP.No.2 Tahun 1998, dijelaskan bahwa pengentasan anak jalanan adalah
sebuah usaha untuk memberikan bimbingan dan pembinaan baik fisik, mental dan
sosial kepada anak agar bisa tumbuh dan berkembang dengan wajar. Usaha
pengentasan ini dapat dilakukan oleh Panti Asuhan, asuhan keluarga. Pengentasan
anak ini dimaksudkan untuk mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak.
Fungsi ini meliputi kombinasi dari bermacam-macam keahlian teknik dan
fasilitas-fasilitas khusus yang ditujukan untuk mencapai pemeliharaan fisik,
penyesuaian psikologis, penyuluhan, dan bimbingan.
Dalam pasal 76 I
menyatakan, bahwa pihak yang melakukan pemerasan terhadap anak jalanan dan
terlantar, terancam hukuman dipidana sesingkat-singkatnya 5 tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dengan denda terbanyak Rp 5 miliar”. Dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002
mengenai Perlindungan Anak.Dalam undang-undang nomor 35 tahun 2014, menjelaskan
bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, menyuruh, dan turut serta
dalam melakukan eksploitasi ekonomi dan seksual terhadap anak.
Masalah anak
terlantar ini sebenarnya adalah masalah yang muncul dari sistem negara yang
berakibat pada meningkatnya angka kemiskinan hingga berakibat pada meningkatnya
jumlah anak terlantar di negara Indonesia. Pihak yang melakukan eksploitasi
pada anak terlantar sebagian besar adalah mereka yang perangkap dalam masalah
kemiskinan. Permasalahan seperti ini dibutuhkan perhatian yang sangat khusus
dari pemerintah dan masyarakat, karena masalah ini bukan permasalahan sosial
yang dapat diatasi melalui bantuan-bantuan sosial yang berasal dari
organisasi-organisasi tertentu. Melainkan hanya sistem negara yang dapat
mengatasi masalah meningkatnya jumlah anak-anak terlantar di Indonesia melalui
penghapusan sistem kapitalis yang saat ini berlaku dalam negara Indonesia.
Anak terlantar
pada dasarnya adalah sama dengan anak pada umumnya. Dalam keseharian mereka
memerlukan berbagai kegiatan yang terdiri atas kegiatan bermain, belajar, dan
untuk mencapai suatu prestasi. Pada dasarnya kegiatan tersebut juga merupakan
hak mereka yang paling mendasar yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Oleh
karena itu, perlu dicarikan solusi dalam hal pengaturan sistem belajar mengajar
yang tepat bagi anak terlantar. Dengan menjaga keseimbangan diharapkan
masing-masing aktifitas ini dapat menimbulkan rasa keinginan dan kemauan yang
lebih besar bagi anak terlantar untuk mengubah kehidupan mereka sehingga
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Anak dalam
melakukan aktivitasnya dalam belajar, bermain dan berprestasi juga sering kali
secara sadar atau pun tidak sadar melakukan aktivitas yang positif. Kreatifitas
ini sering kali dilupakan oleh masyarakat sehingga kreatifitas tersebut
akhirnya menjadi musnah dengan sendirinya. Dengan menghargai dan menjaga
kreatifitas anak terlantar maka diharapkan mereka dapat menemukan suatu solusi
secara mandiri untuk mengubah kondisi kehidupannya menjadi lebih baik lagi.
Banyak data yang
menyebutkan bahwa salah satu putusnya sekolah (pendidikan) bagi anak-anak
terlantar dikarenakan sebagian besar anak terlantar tidak terbiasa mendapatkan
pendidikan secara formal. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari anak
terlantar biasa hidup bebas dan jauh dari aturan-aturan yang bersifat mengatur
serta mengikat. Sehingga mereka biasanya menolak apabila dipaksa untuk
bersekolah. Upaya untuk menyelesaikan masalah pendidikan dari anak terlantar
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni sebagai berikut:
1. Membebaskan biaya pendidikan
bagi anak terlantar dan keluarga miskin.
2. Memperbanyak akses untuk
mendapatkan beasiswa.
3. Pemberdayaan keluarga.
4. Memberikan payung hukum dalam
menangani pendidikan anak terlantar.
5. Pemberdayaan instansi terkait
Anak terlantar
harus dipandang bukan hanya tanggung jawab Negara, melainkan juga tanggungjawab
pihak swasta dan masyarakat umum. Sehingga Negara, swasta, dan masyarakat umum
dapat duduk bersama untuk mencarikan solusi terbaik bagi masa depan mereka
terutama dalam sektor pendidikan.
Dalam menangani
permasalah ini, Indonesia sebenarnya telah mempunyai Departemen sosial, tetapi
entah mengapa kerja dari Departemen ini tidak pernah terdengar. Menghadapi anak
terlantar contohnya anak jalanan yang berkembang begitu besar, pemerintah
sebenarnya telah melakukan berbagai upaya. Dari upaya penertiban, pembinaan,
pemberian pelatihan-pelatihan, hingga penyediaan rumah singgah bagi mereka.
Namun, seperti upaya-upaya yang telah dilakukan tersebut belum cukup.
Pemerintah harus
bekerja lebih keras dalam mengatasi fakir miskin dan anak terlantar di
Indonesia.Undang-undang dasar memberi amanat bahwa fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh Negara.sehingga mereka yang hidupnya terlantar harus
menjadi perhatian Negara. Tetapi, harus juga dipahami bahwa kemampuan Negara
sekarang ini memang masih sangat terbatas. Solusi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi anak terlatar di Indonesia antara lain:
1. Melakukan identifikasi terhadap
akar permasalahan guna menyelesaikan masalah anak terlantar tersebut dengan
menyentuh pada sumber permasalahannya.
2. Memberikan perlindungan kepada
anak tanpa terkecuali. Undang-undang dasar nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juga mengamanatkan bahwa perlindungan anak sangat penting
dilakukan dengan tujuan untuk menjamin hak-hak bagi anak agar dapat hidup
terpenuhi,hak untuk berkembang, serta untuk berpartisipasi secara maksimal
sesuai dengan harkat serta martabat kemanusiaan, dan berhak memperoleh
perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan,agar dapat mewujudkan anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
3. Menciptakan program-program
yang responsive terhadap perkembangan anak, termasuk anak-anak jalanan.
4. Membangun kesadaran bersama
bahwa masalah anak terlantar sesungguhnya merupakan suatu tanggungjawab bersama
antara pemerintah, masyarakat, keluarga, serta orang tua.
KESIMPULAN
Anak terlantar
dilindungi oleh
negara. Pernyataan tersebut terdapat pada Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Hakikatnya
anak jalanan merupakan tanggung jawab bersama bukan hanya pemerintah, namun
juga kita sebagai masyarakat yang beradab, dan berperikemanusiaan yang
berpegang teguh pada dasar-dasar pancasila, saling menjaga kerukunan dan
kesejahteraan anak jalanan juga menjadi tanggung jawab masyarakat sebagai
makhluk sosial. Peran dan perhatian pemerintah terhadap penderitaan anak-anak
jalanan memang masih sangat jauh dari harapan, bahkan pemerintah menganggap
mereka hanya bagaikan barang rongsok yang sudah tidak dapat digunakan lagi.
Peraturan yang berlaku pun hanya sebuah tulisan di secarik kertas putih yang di
musiumkan. Jika di lihat dari sisi lain, anak jalanan jika di berikan perhatian
dan pendidikan yang layak mereka juga mampu mengharumkan nama bangsa bukan
hanya berkeliling di jalanan mencari keping demi keping uang receh.
Keterbelakangan ekonomi, pendidikan, dan peran orangtua memang menjadi faktor
utama yang memaksakan mereka untuk hidup liar dijalanan yang bebas. Oleh karena
itu pemerintah harus bekerja lebih keras dalam mengatasi jumlah anak terlantar
yang terus bertambah.
DAFTAR PUSTAKA
Alston, P. 1992. The United Nations
and Human Rights; A Critical Appraisal. Jakarta: Kencana.
Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Majda, El Muhtaj. 2008. Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, Ed.1. Jakarta:
Rajawali Pers.
Nowak, Manfred. 2001. Hak Atas
Pendidikan, Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku Teks Revisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Suryono, Hasan. 2007. Kondisi
Penegakan Hak Asasi Manusia di Bidang Pendidikan (Studi Sinkronisasi dan
infentarisasi hukum). Semarang: Universitas Sebelas
Maret.
Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana.
Penulis Artikel: Nia Karmila, Nopi Lestari, Nunung Nurjanah, dan Rizki Awalia.