Minggu, 20 Maret 2016

Promise To The Moon - Heartbeat


Sepasang mata biru milik pemuda itu terus memperhatikan dengan tajam gadis yang berdiri gugup didepan kelasnya. Dia menghirup aroma memabukkan yang ada disekelilingnya ketika gadis itu memasuki kelas ini. Dengan sekuat tenaga dia menekan keinginan kuat untuk menarik gadis tersebut ke dalam pelukannya. Mengelus rambut coklat panjang indahnya yang tergerai lembut, menyentuh pipinya yang memerah, mengecup keningnya, pipinya, hidungnya, dan... bibirnya. Dia yakin bibir merah muda itu pasti terasa manis.

Kemudian pemuda itu menggeram. Geraman pelan yang keluar karena pikiran akan apa yang akan dia lakukan bersama gadisnya. Ya. Gadisnya, miliknya! Sekali lagi, geraman tidak sabar muncul keluar dari dirinya begitu melihat wajah gadisnya yang mendongak dan mata berwarna coklat yang begitu menenangkan.

“Tenanglah! Kita harus perlahan! Dia akan takut jika kita berbuat gegabah!”

Pemuda itu tersenyum tipis. Namun, tekad kuat terpancar di matanya. Gadis itu miliknya. Elissa Andromeda milik Andrew Alexander!

***

Benar apa yang dikatakan Flo tadi. Mereka begitu berbeda. Ada aura menakjubkan yang membuat nyali Elissa menciut. Mereka menawan dengan cara yang tak bisa Elissa jelaskan. Elissa seperti gadis gembel dan kumal jika ada di kelas ini. Elissa menghirup napas panjang dan mulai memperkenalkan diri. “Namaku Elissa Andromeda. Kalian bisa memanggilku Elissa. Mohon bantuannya selama satu tahun ke depan.” Elissa tersenyum, mencoba menatap teman-teman sekelasnya dengan percaya diri agar tidak terlihat seperti gadis yang bisa di tindas. Elissa tidak mau menjadi objek penindasan di lingkungan sekolah barunya ini.

Hal yang dilakukan teman-teman sekelasnya setelah ia memperkenalkan dirinya membuat Elissa mengernyitkan kening bingung. Mereka menatap Elissa dengan takjub dan terperangah, bahkan ada gadis yang duduk di kursi paling belakang memekik pelan. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena sedetik kemudian mereka menundukan kepalanya menghindari tatapan Elissa. Elissa mencoba menatap satu persatu teman-teman sekelasnya, tapi tidak ada yang balas menatapnya. Kerutan di kening Elissa semakin dalam. Lalu, Elissa tersentak begitu menyadari teman-teman sekelasnya ini sudah menunjukan tanda-tanda tidak mau berteman dengannya. Elissa mencoba menahan raut wajahnya agar tidak terlihat menyedihkan.

Mata Elissa menatap kearah pemuda yang duduk di kursi pojok kanan paling belakang. Jantung Elissa secara tiba-tiba berdetak cepat tidak beraturan. Elissa menahan napas menatap pemuda tertampan yang pernah Elissa lihat sepanjang 17 tahun hidupnya. Pemuda tampan itu balas menatapnya dengan tajam, pemuda itu tidak menunduk atau mengalihkan pandangannya ketika Elissa memandangnya. Tapi tatapan mata itu membuat Elissa bertanya-tanya dengan sedih, apa pemuda itu tidak menyukai dirinya? Elissa gagal menahan raut wajahnya. Dia pasti terlihat menyedihkan.

***

Andrew tersentak begitu melihat raut wajah Elissa. Apa yang membuatmu menunjukan raut wajah sedih seperti itu, sayang? Andrew sangat ingin membawa gadisnya ke dalam pelukannya dan mengatakan tidak ada yang perlu ia khawatirkan di dunia ini. Andrew akan menjaganya sekuat tenaga dan memberikan apapun yang gadis itu inginkan.

“Apa yang terjadi dengannya, Andrew?” Sebuah pertanyaan menyeruak ke dalam pikirannya.

“Aku pun tak tahu.” Jawab Andrew.

“Apa kau tak bisa menenangkannya? Dia tidak boleh mempunyai raut wajah seperti itu!” Ucap suara itu diikuti dengan geraman mengerikan.

“Kita tidak bisa melakukan hal itu. Ingat Jaxon kita harus perlahan!” Suara Andrew mengingatkan kepada seseorang bernama Jaxon.

“Hah! Sial kau Andrew!” Jaxon tidak bisa membantah lagi, karena apa yang Andrew ucapkan benar. Mereka tidak bisa begitu saja langsung mengklaim milik mereka. Gadis mereka akan ketakutan.

“Kau bisa duduk dengan Andrew Alexander, Elissa. Di sana tempat duduknya.” Ucap Mr. Davis sambil menunjuk tempat duduk Andrew.

Andrew berdiri dari tempat duduknya dengan perlahan, memberi tanda kepada gadis itu untuk duduk di dekat dinding. Matanya menatap Elissa dengan intens. Dan jantungnya berdetak semakin cepat seiring langkah kaki Elissa yang perlahan mendekat kepadanya. Aroma tubuhnya semakin memabukkan. Membuat Andrew gila. Dia mengepalkan telapak tangannya dengan erat.

Andrew bisa merasakan rasa penasaran, takjub dan bahagia dari teman-teman kelasnya. Penasaran apa yang akan dirinya lakukan terhadap gadis ini. Dan rasa takjub juga bahagia karena pada akhirnya mereka bisa bertemu dengan gadis ini. Ya, euforia kebahagiaan bukan hanya dirasakan oleh Andrew dan Jaxon saja, tapi juga dirasakan oleh teman-temannya. Sudah lama Andrew, Jaxon, dan orang-orang yang ada dikelas ini menanti kehadiran Elissa.

Elissa berhenti tepat didekat meja mereka. Andrew bisa merasakan kegugupannya. Gadis itu menatap Andrew sebentar, lalu menunduk lagi. Andrew bisa melihat rona merah muda yang menjalar di pipinya. Gadisnya begitu manis.

“Aku tak tahan, Andrew! Dia begitu memabukkan!” Jaxon menyela pikiran Andrew secara tiba-tiba.

“Kumohon tenanglah, Jaxon!” Suara Andrew memperingati Jaxon.

“Aku benar-benar bahagia, Andrew! Dia menatapku! Mate-ku menatapku!” Ucapan Jaxon membuat Andrew mengangkat alisnya.

“Bro, sekedar mengingatkan kalau kau lupa. Dia menatapku, bukan kau.” Andrew berkata penuh kemenangan.

“Brengsek kau!” Ucap Jaxon kesal.

Andrew memundurkan kursinya mempersilahkan Elissa duduk. Gadis itu duduk di kursinya dengan ragu. Andrew kembali duduk di kursinya sambil menenangkan dirinya untuk tidak mendekap gadisnya erat-erat.

“Baiklah kita mulai pelajaran kita.” Mr. Davis berkata sambil mulai menulis di papan tulis.

Andrew membuka buku catatannya sambil terus menenangkan dirinya dan juga Jaxon. Lalu tanpa diduga Andrew, Elissa menepuk buku catatan Andrew. Andrew tersentak kaget. Dan dia mengalihkan pandangannya ke wajah gadis itu.

“Aku Elissa. Mmm... aku tahu kau Andrew. Aku hanya ingin bilang senang mengenalmu.” Gadis itu berkata dengan terbata-bata. Membuat Andrew menghirup napas panjang. Kesalahan fatal! Aroma gadis ini justru membuatnya semakin sulit menenangkan diri. Andrew menatap gadis ini dengan tajam. Oh sayang, aku yang paling senang bisa mengenalmu. Kau tak tahu betapa tersiksanya aku selama seminggu ini. Ditatap seperti itu membuat gadis itu menunduk membolak-balik lembar buku tulis dengan canggung.

“Senang mengenalmu juga, Elissa.” Jawab Andrew dengan suara pelan setelah sadar tatapannya membuat gadis itu takut.

Elissa mendongakkan wajahnya. Mulutnya ternganga sedikit membuat Andrew bertanya-tanya bagaimana rasanya jika bibirnya mengecup... Brengsek! Jangan berpikir macam-macam Andrew! Hal yang terjadi selanjutnya membuat Andrew ingin mengerang frustasi. Elissa tersenyum manis kearah Andrew. Membuat jantung Andrew seakan berhenti berdetak. Andrew mengenggam pulpennya dengan erat. Kemudian dengan cepat Andrew menunduk mengalihkan pandangan dari Elissa, menggertakan giginya, pulpen yang digenggamnya patah, dan suara geraman Jaxon terdengar.

***

Elissa terkejut mendengar suara geraman yang keluar dari Andrew. Geraman yang cukup menakutkan. Apa ada yang salah? Cepat-cepat dia mengalihkan perhatiannya ke papan tulis. Elissa seperti mendapat jackpot begitu Mr. Davis menyuruhnya duduk disamping pemuda tampan ini. Andrew Alexander. Bahkan hanya dengan menyebut namanya, jantungnya Elissa berdetak kencang. Entah mengapa dia begitu bahagia bisa berada sedekat ini dengan Andrew. Tapi Elissa rasa, Andrew tidak merasakan hal yang sama terhadapnya. Tentu saja, apa yang Elissa harapkan dari pemuda super tampan seperti Andrew. Elissa mendesah pelan dan berusaha memfokuskan dirinya terhadap apa yang dijelaskan Mr. Davis.

***

Elissa memejamkan mata frustasi. Dia yang bodoh akan semakin bodoh jika Mr. Davis mengajar dengan cara seperti itu. Beliau menyampaikan dengan singkat dan cepat. Hanya rumus inti saja. Tanpa menjelaskan dengan detail bagaimana hasil dari contoh soal didapatkan. Fokus beliau adalah papan tulis. Mr. Davis sama sekali tidak pernah melirik lama kearah kami.

Elissa melirik kearah Andrew, lalu melihat teman-teman kelasnya dengan cepat. Dia rasa, hanya dia yang seperti ini. Teman-teman sekelasnya tidak ada yang menunjukan ekspresi kalau dia bernasib sama dengan Elissa. Elissa mendengus sinis. Tentu saja, ini kelas A. Elissa saja yang entah bagaimana mendapatkan kelas ini. Sekarang Elissa bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, haruskah dia tertawa bahagia bisa mendapatkan kelas unggulan yang otak anak-anaknya diatas rata-rata ataukah dia harus menangis tersedu-sedu karena justru dengan dia berada dikelas ini dia akan menjadi semakin bodoh.

Elissa duduk ditempatnya dengan gusar. Dia berdoa didalam hati berharap Mr. Davis selesai mengajar. Dari tadi beliau menulis rumus terus-menerus yang Elissa yakin beliau sudah mengajar satu bab. Satu bab yang tidak berarti untuk Elissa. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang diajarkan Mr. Davis. Yang dia tangkap dari pelajaran matematika ini adalah huruf x dan y yang terus saja diulang-ulang. Untuk pertama kalinya, Elissa berharap waktu istirahat cepat datang. Elissa memang anak yang tidak pintar di sekolahnya dulu. Tapi dia bukan anak yang ingin cepat-cepat istirahat. Dia mengikuti pelajarannya dengan baik. Dan dia betah berada dikelasnya. Tidak seperti ini.

Teng. Teng. Teng.

Posisi duduk Elissa yang tadinya lemas langsung berubah tegap. Tadi dia mendengar suara seperti lonceng. Apa sudah masuk waktu istirahat? Elissa mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas. Sepertinya bukan. Teman-teman sekelasnya tidak ada yang bersorak gembira atau membuat gerakan lainnya. Kelas ini masih sama seperti pagi hari, sunyi, sepi, tenang, dan membuat Elissa tidak nyaman.

“Baiklah kalian boleh beristirahat. Jangan lupa kerjakan tugas kalian. Kumpulkan lusa.” Mr. Davis berkata sambil melangkah keluar kelas. Ucapan Mr. Davis tadi menjawab pertanyaan Elissa.

Setelah Mr. Davis sudah tidak ada dikelas. Elissa mengedarkan pandangannya lagi ke sekeliling kelas. Masih sepi. Hanya ada suara bisik-bisik beberapa anak yang mengobrol. Elissa menggigit bibirnya frustasi. Apa orang-orang pintar tidak butuh makanan? Mengapa mereka tidak cepat-cepat pergi keluar kelas untuk ke kantin? Elissa tidak mungkin berdiri duluan dan keluar kelas sendiri. Sepertinya tidak ada satu pun anak kelas A yang berniat keluar kelas. Elissa mengerang pelan. Dia ingin menghampiri Flo dan mengajaknya ke kantin. Sampai saat ini hanya Flo yang membuatnya nyaman.

Elissa melirik Andrew yang sedang membaca buku catatannya. Apa dia harus bertanya pada Andrew? Tapi bagaimana memulainya? Elissa memejamkan matanya dan mengangguk untuk meyakinkan dirinya bertanya pada Andrew. Dia tidak mau kelaparan di hari pertamanya sekolah di sini.

“Andrew?” Panggil Elissa dengan berbisik pelan.

Andrew mengalihkan pandangannya dari buku catatan kearah Elissa. Menatapnya dengan tatapan bertanya.

“Apa kau tidak ke kantin?” Tanya Elissa ragu. Andrew mengernyitkan keningnya.

Aduh. Apa Elissa salah bicara? “Mmm... maksudku apa kau tidak menggunakan waktu istirahatmu untuk keluar kelas? Ke perpustakaan?” Nah. Itu mungkin pertanyaan yang lebih masuk akal untuk ditanyakan kepada murid pintar.

Mata Andrew yang tadinya menatap Elissa bingung, kini berubah tajam. Elissa terkejut dan refleks memundurkan dirinya ke dinding kelas. Elissa sedikit ketakutan karena dia melihat ada rasa marah di mata Andrew. Apa Elissa mengganggunya?

***

“Brengsek kau, Andrew! Dia manusia biasa! Dia pasti lapar!” Jaxon membentak Andrew marah.

Ya, Andrew memang pantas mendapatkan amarah Jaxon. Dia terlalu egois. Duduk dengan nyaman di kursinya, mencuri-mencuri pandang kearah Elissa, menghirup aroma tubuhnya yang memabukkan, menikmati kebahagiaan yang hinggap dihatinya selama Ethan menjelaskan pelajaran tadi. Hingga dia tidak mempedulikan bel istirahat yang berbunyi, menikmati rasa nyamannya duduk berdua dengan Elissa. Tapi ternyata dia melupakan hal yang penting untuk gadisnya. Gadisnya butuh makanan, dia lapar! Dan Andrew justru membuat Elissa tidak bisa pergi ke kantin. Gadisnya pasti malu berjalan keluar dari kelas sendirian, karena tidak ada satu pun anak kelas ini yang keluar kelas. Dan penyebabnya adalah Andrew! Teman-teman sekelasnya tidak akan berani keluar dari kelas ini kalau Andrew tidak keluar terlebih dahulu. Mereka semua akan selalu berada di belakang Andrew.

Amarahnya timbul begitu mengetahui dialah yang membuat gadisnya kesusahan. Andrew marah dan kecewa kepada dirinya sendiri. Mengapa dia begitu egois mementingkan kesenangannya sendiri? Andrew berusaha menenangkan perasaannya, tapi Jaxon tidak dapat menahan amarahnya yang meledak-ledak. Hingga amarah itu keluar dari dirinya membuat gadisnya mundur ketakutan.

“Sialan kau, Jaxon! Aku tahu aku salah, tapi kau juga tidak mengingatkanku! Kau harus tenang! Kau membuatnya takut, bodoh!” Ucapan Andrew menyadarkan Jaxon kalau amarahnya tadi membuat Elissa ketakutan.

“Bantu aku menahan amarah ini, Andrew! Aku tidak mau menakuti gadisku.” Jaxon berkata sambil menggertakan giginya.

“Pergilah, Jaxon.”

Andrew memejamkan matanya cukup lama, menghirup napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Dia harus bisa menenangkan dirinya dan Jaxon. Hal yang sulit karena Jaxon begitu marah dan kecewa pada dirinya dan Andrew.

Andrew membuka matanya dan melihat gadisnya menatap penasaran kearahnya. Tapi Andrew bisa bernapas lega karena gadisnya sudah tidak ketakutan lagi terhadapnya.

“Aku akan ke kantin.” Ucap Andrew datar. Dia masih berusaha menekan amarahnya.

“Brayden.” Andrew memanggil salah satu anggota kelompoknya.

“Alpha.” Brayden membalas panggilan Andrew. Alpha. Andrew memang Alpha dikelompoknya.

“Berdirilah. Pergi ke kantin denganku. Beritahu kepada yang lain untuk keluar dari kelas. Kalian terlalu kaku. Membuat Elissa tidak nyaman.” Perintah Andrew.

“Maafkan kami, Alpha. Saya akan memberi tahu kepada yang lain.” Balas Brayden menyanggupi perintah Andrew.

Andrew memutus percakapan dengan Brayden melalui mindlink. Ya, bukan hanya dengan Jaxon saja Andrew bisa berbicara lewat pikiran, tapi juga dengan anggota kelompoknya. Brayden adalah Beta-nya. Wakilnya. Tangan kanannya. Orang yang masuk ke dalam daftar orang yang dipercayainya.

Andrew melihat beberapa anak mulai berdiri, termasuk Brayden. Beberapa dari mereka sudah mulai berjalan ke luar kelas. Andrew melihat Nick berdiri di meja sampingnya, menunggunya berdiri.

Ah, Andrew lupa sesuatu. Gadis itu pasti belum memiliki teman. Dan mungkin saja, dia tak akan mendapatkan teman. Anak-anak kelas A terlalu hormat kepada Elissa untuk mengajaknya berkenalan. Anak-anak kelas B dan C pasti tidak berani mendekati gadisnya. Dan anak-anak kelas D dan E terlalu rendah diri untuk bergaul dengan anak-anak kelas A, dan Andrew yakin manusia punya insting kuat untuk perlindungan diri. Jadi menurut Andrew, anak-anak kelas D dan E yang menghindari anak-anak kelas A adalah anak-anak yang pintar. Walau masih ada yang tidak tahu diri dan tidak mempunyai malu mencoba menjadi bagian dari anak-anak kelas A, padahal mereka benar-benar tidak pantas.


Andrew tidak mau gadisnya merasa tidak nyaman di sekolah ini. Walaupun Andrew tahu, rasa ketidaknyamanan sudah menghampiri gadis ini ketika berdiri di gerbang sekolah tadi. Andrew berdiri perlahan. Lalu menatap mata Elissa dengan tajam sambil mengulurkan tangannya, “Ayo ikut denganku ke kantin, Elissa.”

***
Tbc.

1 komentar:

  1. Lucky Club Casino Site Review – Get Up To £10 No Deposit Bonus
    Lucky Club Casino is an online casino with luckyclub.live a lot of fun and a lot of money to win. In addition, you can also be sure to enjoy a variety of promotions that

    BalasHapus