Minggu, 20 Maret 2016

Promise To The Moon - The Touch


Elissa terkejut dan tidak sadar bibirnya ternganga sedikit mendengar ucapan Andrew. Jantungnya berdetak dengan cepat dan tidak beraturan. Apa dia tidak salah dengar? Andrew yang tampan ini mengajaknya ke kantin? Elissa menahan napasnya melihat tangan Andrew yang terulur. Tubuhnya gemetar. Elissa bingung, mengapa reaksinya seperti ini terhadap Andrew. Tapi setelah dipikir-pikir, wajar saja bukan? Siapa yang tidak meleleh ketika berada di dekat pemuda setampan Andrew, duduk sebangku dengannya, berbicara dengannya, dan sekarang mengajak dirinya ke kantin? Elissa mendongak menatap mata Andrew. Sejenak dia terpaku di kedalaman mata biru yang tajam itu. Mata Andrew begitu indah. Elissa benar-benar tidak percaya ada pemuda setampan Andrew.

Andrew menarik kembali uluran tangannya. “Ayo, Elissa. Kau pasti lapar.”

Elissa tersadar dari keterpakuannya. “Oh ya, baiklah.” Elissa menjawab dengan cepat sambil berdiri dari tempat duduknya. Elissa sedikit menyesal mengapa tadi dia tidak langsung menerima uluran tangan Andrew. Elissa berjalan disamping Andrew. Diikuti oleh empat orang teman sekelasnya yang Elissa tidak tahu siapa namanya. Dua orang berjalan di depan Elissa dan Andrew, dan dua yang lainnya berjalan di belakang mereka.

Elissa menunduk ketika berjalan di koridor. Lagi-lagi Elissa merasa diperhatikan. Namun kali ini intensitas pandangan murid-murid tersebut semakin kuat. Membuat Elissa tidak nyaman. Apa dia membuat kesalahan karena berjalan bersama Andrew dan teman-temannya?

Tiba-tiba ada yang mengangkat dagunya. Elissa menegang seketika. Andrew ada di hadapannya sambil menatapnya tajam. “Kau tak boleh menunduk Elissa. Kau harus berjalan dengan penuh percaya diri. Itu sudah menjadi tugasmu mulai hari ini. Jangan pernah menunduk pada siapapun, kecuali kepadaku.” Ucap Andrew dengan tegas.

Elissa mengernyitkan keningnya bingung. Apa sebenarnya maksud Andrew?

“Apa yang mau kau makan?” Tanya Andrew setelah melepas tangannya dari dagu Elissa.

Elissa baru sadar mereka sudah sampai di kantin sekolah. Dia melihat-lihat menu di papan tulis berwarna hitam yang tergantung di dinding kantin. “Aku mau pesan cheeseburger saja.” Elissa hendak berjalan ke tempat penjual makanan yang ingin dipesannya, tapi tangannya di tarik oleh Andrew.

“Nick, pesankan makanannya.” Andrew berkata kepada salah satu temannya yang bersama kami.

Elissa melongo mendengar perkataan Andrew. Apa-apaan sih maksudnya? Elissa jadi tidak enak mendengar ucapan Andrew yang seperti memerintah kepada temannya yang bernama Nick itu. Ketika Nick berjalan untuk memesan, Elissa menahannya dengan berkata “Eh, tidak perlu. Aku bisa memesannya sendiri.”

Nick memutar badannya ke arah Elissa, lalu pemuda itu menundukan kepalanya sedikit kepada Elissa, dan berjalan lagi tanpa menghiraukan ucapan Elissa.

Apa yang Nick lakukan?

“Biar Nick saja yang memesan. Ayo kita cari tempat duduk.” Ajak Andrew sambil meraih tangan Elissa. Membuat Elissa panas dingin akan perlakuan Andrew. Hidupnya akan singkat jika dia terus dekat-dekat dengan Andrew. Dia bisa mengalami serangan jantung.

Elissa, Andrew, dan ketiga teman sekelas mereka berjalan mencari meja kosong. Di kantin benar-benar ramai. Mata Elissa menangkap meja kosong di pojok depan. Elissa meremas sedikit tangan Andrew, yang Elissa juga tidak mengerti mengapa Andrew perlu menggandengnya seperti ini. Andrew melihat kearah Elissa. Elissa menunjuk kearah meja yang dilihatnya tadi. “Di sana kosong.”

Bukannya melihat kearah yang Elissa tunjuk, Andrew justru menatap mata Elissa lekat. Elissa benar-benar tidak nyaman ditatap seintens itu oleh Andrew. “Kita sudah punya meja, Elissa. Jika kau ke kantin tanpa aku, jangan duduk di meja lain, kau harus duduk di mejamu. Kau mengerti?” Andrew berkata dengan tegas. Elissa mengangguk cepat, dia masih memproses apa maksud ucapan Andrew, tapi melihat mata Andrew yang menuntut jawaban, Elissa tidak bisa berbuat apa-apa kecuali meng’iya’kan apa yang pemuda itu minta.

Elissa hanya menatap punggung tegap Andrew ketika berjalan menuju meja yang Andrew katakan tadi, ‘meja mereka’. Elissa tidak berani menatap sekelilingnya. Elissa bisa merasakan begitu banyak tatapan yang mengikuti Elissa. Elissa mendesah pelan. Dia berharap tidak ada hal mengerikan yang akan terjadi karena dia bersama dengan Andrew dan teman-temannya.

Elissa bisa melihat kearah mana Andrew menuju. Dia mengangkat alisnya bingung karena meja yang mereka tuju sudah ada yang mengisi. Kemudian Elissa ternganga kaget ketika salah satu teman Andrew tadi menepuk bahu salah satu pemuda disana, dan begitu mendongak melihat siapa yang menepuknya, pemuda tersebut langsung berdiri dan mengajak teman-temannya pergi dari meja itu. Elissa sampai bertanya-tanya memangnya seberapa besar pengaruh Andrew dan teman-temannya.

Dua orang teman Andrew yang sebelumnya berjalan didepan Elissa dan Andrew menyingkir sedikit dari meja. Kemudian Andrew menarik Elissa duduk di kursi panjang meja tersebut. Andrew sendiri duduk di sebelah Elissa. Ketiga teman Andrew duduk di depan Elissa dan Andrew. Tapi yang membuat Elissa mengernyitkan keningnya, mereka tidak tepat duduk di depan Elissa dan Andrew. Di depan Elissa dan Andrew tidak mereka isi, mereka duduk di sebelahnya. Oh pasti untuk Nick. Pikir Elissa.

Elissa mengedarkan pandangannya dan melihat banyak anak-anak di kantin yang melihat aneh kearah Elissa, terutama para gadis. Dia bisa melihat tatapan tidak suka yang gadis-gadis itu berikan padanya. Lalu, tatapannya terhenti pada seorang gadis yang sedang bersama teman-temannya. Gadis itu dan teman-temannya menatap Elissa dengan tajam dan penuh dendam. Elissa cepat-cepat menunduk. Dia menggigit bibirnya frustasi. Hal ini yang dia takutkan dari tadi, pasti banyak yang akan menaruh dendam kesumat padanya.

Elissa tersentak kaget ketika ada tangan yang memainkan ujung rambutnya dengan lembut. Elissa mengangkat kepalanya kearah pemuda yang melakukan hal itu. Menahan napas ketika melihat Andrew sedang menumpukan pipinya di tangannya menghadap kearah Elissa dan tangan yang lainnya sedang memainkan ujung rambut Elissa. Jantung Elissa berdebar dengan kencang ketika melihat seorang Andrew melakukan hal seperti ini padanya. Dia tak menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh Andrew. Elissa masih diam mematung menatap Andrew. Lalu, Andrew tersenyum lembut kepadanya. Elissa benar-benar akan pingsan jika Andrew bersikap seperti ini terus padanya.
“Aku sudah bilang padamu tadi. Jangan menunduk. Kau tak boleh menunduk, sayang.”

Elissa menelan ludah gugup. Andrew memanggilnya ‘Sayang’! Ya ampun apa yang harus dia lakukan sekarang! “Aku... aku... aku hanya-“

“Ssst. Tidak boleh membantah, sayang. Kau hanya harus menuruti apa yang aku katakan.” Andrew menempelkan ibu jarinya ke bibir Elissa untuk memotong ucapannya. Elissa benar-benar mematung. Wajahnya terasa panas.

“Kau belum memesan minumanmu. Apa yang ingin kau minum?” Andrew masih diposisi awalnya tapi tangannya sudah ada di pipinya. Mengelusnya dengan lembut. Elissa benar-benar terhipnotis oleh sentuhan Andrew. Dia sampai tidak sadar matanya terpejam karena begitu nyaman dengan apa yang dilakukan Andrew.

“Elissa?” Andrew bertanya lagi dengan lembut karena Elissa tidak menjawabnya.

“Hmm?”

“Kau harus menjawabku, sayang.” Andrew menghentikan elusan tangannya. Mata Elissa terbuka. Apa yang sudah dia lakukan tadi? Oh ya ampun. Dia memejamkan matanya dan menikmati apa yang Andrew lakukan? Bukankan seharusnya Elissa marah karena Andrew menyentuhnya dengan sembarangan?

“Sayang?”

“Ya? Eh- maksudku-“ Elissa gelagapan karena tanpa sengaja membalas panggilan Andrew yang seperti itu. Mengapa Andrew terus memanggilnya seperti itu sih?

“Kau mau minum apa, Elissa?” Tanya Andrew lagi.

“Aku mau air mineral saja.”

Andrew mengangguk. Dan dia melanjutkan elusan di pipi Elissa yang tadi dia hentikan. Dari tadi memang tangan Andrew masih berada di pipi Elissa. Andrew menatapnya dengan intens. Elissa justru mengernyitkan kening bingung. Bukankah tadi Andrew ingin memesankannya minum? Apa Elissa saja yang terlalu percaya diri? Andrew tadi hanya ingin bertanya? Elissa memejamkan matanya. Kali ini bukan karena menikmati elusan Andrew, tapi menahan malu. Ketika dia menjawab pertanyaan Andrew tadi seharusnya dia langsung pergi memesan minumannya. Mengapa dia percaya diri sekali bertingkah seakan-akan Andrew yang akan memesan minumannya? Elissa benar-benar malu.

Tiba-tiba Andrew menghentikan sentuhannya dan mengangguk kearah lain. Elissa mengalihkan pandangannya kearah yang Andrew tuju. Nick datang. Dia mengangguk sopan kearah Andrew dan Elissa. Elissa mengerang dalam hati. Apa sih yang dilakukan Nick sebenarnya? Nick meletakkan cheeseburger yang Elissa pesan dan juga sebotol air mineral beserta gelas kosong dan sedotannya. Elissa menaikan alisnya bingung sambil menatap Nick. Apa tadi Andrew memberitahu Nick tanpa sepengetahuannya? Tapi tidak mungkin, jelas-jelas Elissa tidak pernah mengalihkan pandangannya dari Andrew. Nick duduk di samping ketiga temannya tadi, tetap tidak menduduki kursi di hadapannya.

“Makan, Elissa.” Suara Andrew terdengar memerintah. Elissa menatap Andrew sebentar, lalu cepat-cepat memakan makanannya.

Kemudian Elissa baru berpikir, mengapa Andrew dan teman-temannya tidak makan? Andrew terus saja menyentuhnya. Entah itu memainkan ujung rambutnya, mengelus pipinya, atau menghilangkan saus cheeseburger yang kadang menempel di bibir Elissa. Membuat dirinya tidak bisa menikmati makanannya karena terlalu gugup akan apa yang dilakukan Andrew. Tapi Elissa tidak mau menyingkirkan tangan Andrew, karena entah mengapa dia begitu menyukai apa yang dilakukan Andrew. Nick dan ketiga teman Andrew lainnya yang sampai saat ini Elissa belum tahu siapa namanya karena mereka tidak mengenalkan diri dan Elissa pun tidak berani bertanya pada mereka, hanya duduk diam mengedarkan pandangan di sekeliling kantin dan mengobrol pelan.

Bel berbunyi. Tapi, cheeseburger Elissa masih tersisa lebih dari setengah. Sedangkan anak-anak di kantin sudah berjalan cepat bahkan ada yang berlari menuju kelasnya masing-masing. Elissa kebingungan. Lalu menatap Andrew yang masih saja duduk tenang sambil memainkan rambutnya.

“Andrew...” Panggil Elissa.

“Hmm?” Andrew menatap Elissa lembut.

“Bel sudah berbunyi.” Elissa berkata gugup.

“Lalu?” Respon Andrew sambil menyodorkan gelas berisi air mineral. Entah kapan Andrew mengisi gelas kosong yang dibawa Nick dengan air mineral botolan. “Minumlah.”

Elissa meminum air mineralnya sambil berpikir bingung. “Kita harus ke kelas, Andrew.” Elissa berkata setelah selesai minum.

“Makananmu belum habis, sayang.” Andrew menunjuk cheeseburgernya, “Cepat makan lagi.”

Elissa mengedarkan pandangannya di sekeliling kantin. Sudah tidak ada anak-anak lain disini kecuali mereka berenam. “Ta.. tapi ini sudah-“

“Kita bisa memasuki kelas kapan saja, Elissa.” Potong Andrew. “Habiskan makananmu jika kau ingin cepat-cepat memasuki kelas.” Suara Andrew memerintah.

Elissa memakan cheeseburgernya dengan terburu-buru. Dia benar-benar tidak mau terlambat memasuki kelas. Elissa tersedak cheeseburgernya. Dia menggapai-gapai mencari minumannya.

“Jangan terburu-buru, sayang.” Andrew menyodorkan minumannya lagi. Lalu, mengusap punggungnya lembut. “Tidak akan ada yang memarahimu hanya karena terlambat masuk kelas. Kau bisa masuk kelas kapan saja.”

Otak Elissa benar-benar kusut memikirkan ucapan-ucapan Andrew. Apa sih maksud Andrew ini? Dia mungkin bisa menganggap enteng apapun disini. Tapi Elissa? Dia hanya anak baru yang harus mengejar pelajaran agar nilainya tidak tertinggal dari anak-anak kelas A yang lain.

“Aku sudah kenyang. Ayo kita kembali ke kelas.” Elissa menyudahi makannya karena dia tidak mau terlalu lama terlambat.

“Makananmu belum habis, Elissa. Habiskan dulu.” Andrew memperingati Elissa dengan tegas.

Elissa cemberut mendengar kalimat Andrew. “Aku sudah kenyang, Andrew.” Suara Elissa terdengar merajuk. Mengapa dia merajuk kepada Andrew? Tapi Elissa sama sekali tidak merasa salah telah bersikap seperti ini. Merajuk kepada Andrew terasa benar untuknya. Mengapa bisa begitu?

***

Andrew tertawa kecil mendengar rajukan Elissa. Andrew sama sekali tidak menyangka kalau gadisnya begitu lucu ketika merajuk. “Baiklah.” Andrew merapikan sisa makanan Elissa. Lalu berdiri dan membuangnya ke tempat sampah terdekat. Kemudian kembali berdiri di hadapan Elissa. “Ayo, sayang.” Ucap Andrew sambil mengulurkan tangannya yang langsung dibalas oleh Elissa. Lidah Andrew terasa tepat ketika memanggil Elissa dengan panggilan seperti itu. Awalnya dia tidak sengaja memanggil Elissa seperti itu. Namun, ketika melihat reaksi Elissa yang tidak bertanya lebih lanjut, membuat Andrew tidak tahan untuk terus memanggilnya seperti itu. Dan dia begitu bahagia Elissa merespon panggilannya.

Andrew menggenggam tangan Elissa dengan erat ketika berjalan di koridor. Koridor menuju ke kelas A telah sepi. Tentu saja. Ini sudah lewat dua puluh menit dari waktu bel masuk berbunyi. Brayden, Nick, Ray, dan Leon mengikuti Andrew dan Elissa dibelakang. Ketika mereka sampai di depan pintu kelas dan tangan Andrew ingin mendorong pintu, tangan Elissa menahannya. Andrew menatap Elissa dan menemukan gadisnya menatap Andrew dengan ekspresi ketakutan.

“Apa tidak apa-apa kalau kita langsung masuk? Kita sudah terlambat dua puluh menit. Di dalam sangat sepi. Pasti sudah ada guru yang mengajar.” Gadisnya berkata dengan suara pelan.

Ya. Di dalam memang sudah ada guru yang mengajar. Tapi keadaan di dalam sepi bukan karena hal itu, tapi karena semua orang yang ada di dalam kelas mengetahui kalau pemimpin mereka akan memasuki kelas.

“Tidak apa-apa, sayang. Kau tak perlu ketakutan seperti itu. Tidak akan pernah ada orang di kelas ini yang berani memarahimu.” Lagi pula siapa yang akan berani bersikap kurang ajar memarahi pemimpinnya? Bahkan untuk menatap Elissa belum tentu mereka akan berani. Andrew tahu ucapannya membuat Elissa bingung setengah mati dan gadis itu pasti akan menganggap Andrew pemuda yang tidak bertanggung jawab. Tapi biarlah untuk saat ini gadisnya berpikiran seperti itu. Karena ini belum waktunya bagi Elissa untuk mengetahui siapa sebenarnya arti dirinya untuk Andrew dan orang-orang di kelas A.

Andrew memasuki kelas dengan tangan Elissa digenggamannya. Semua orang di dalam kelas ini menunduk kecil memberi hormat pada Andrew. Tak terkecuali guru Kimia yang sedang mengajar tersebut.

“James.” Andrew memanggil guru Kimia tersebut melalu mindlink.

“Alpha.” James langsung membalas panggilan pemimpinnya.

“Perkenalkan dirimu pada Elissa.”

“Tapi.. Alpha-“ James menjawab dengan ragu.

“Dia belum tahu siapa kita. Cepat Lakukan.” Perintah Andrew tegas.

“Baik, Alpha.”

Andrew memutus percakapan mereka. Dan James berjalan menuju kearah Elissa. Elissa masih menunduk karena malu masuk terlambat ke dalam kelas. Andrew tersenyum kecil melihat gadisnya. Lalu menggoyangkan genggaman tangan mereka membuat Elissa menatapnya. Andrew menggerakan dagunya kearah James. Elissa melihat guru yang sedang mengajar tadi berjalan menuju kearahnya. Reflek Elissa ingin menunduk hormat. Namun Andrew dengan cepat menahan bahu Elissa. “Jangan menunduk kepada siapapun kecuali padaku, Elissa.” Andrew berbisik dengan geram. Gadisnya ini benar-benar keras kepala. Sudah berapa kali Andrew mengatakan hal itu padanya. Andrew melihat Elissa ingin memprotes ucapannya, namun terpotong oleh ucapan James.

“Miss Elissa Andromeda. Saya James Connor, guru Kimia di kelas ini.”

“Mr. Connor.” Elissa lagi-lagi ingin menunduk hormat. Dan Andrew lagi-lagi menahan bahu Elissa.
“Silahkan duduk ke tempat masing-masing.” Ucap James sambil mengangguk hormat kepada Andrew dan Elissa. Andrew yakin sekarang ini kepala gadisnya terasa runyam karena begitu banyaknya pertanyaan. Andrew harus memberi tahu kepada Elissa secepatnya.

***

Mereka berenam duduk di tempatnya masing-masing. Andrew membuka buku catatan Kimianya dan memperhatikan James yang sedang mengajar dengan bosan. Andrew menyenderkan punggungnya di kursi dan memperhatikan Elissa. Elissa begitu cantik membuat Andrew sesak karena ingin segera menandainya. Dia menghirup aroma Elissa yang menjadi candu tersendiri untuknya. Andrew tersadar dia sudah begitu lama memperhatikan Elissa ketika James memberikan tugas kepada mereka untuk dikerjakan saat itu juga.

Andrew menatap bukunya dengan malas. Dan mulai mengerjakannya. Kurang dari lima belas menit, soal-soal yang diberikan James sudah selesai Andrew kerjakan. Andrew kembali menyenderkan punggungnya dan menatap Elissa. Andrew tersenyum ketika melihat ekspresi serius Elissa. Lalu tiba-tiba Elissa meletakkan kepalanya di atas buku dan mengetuk-ngetukan pulpen dikepalanya. Andrew mengernyit bingung mengapa gadisnya bersikap seperti itu.

Kemudian Elissa kembali duduk seperti semula dan mengerjakan soalnya lagi. Tapi Andrew bisa melihat Elissa menggigit bibirnya frustasi. Membuat Jaxon menggeram di dalam sana menginginkan untuk menggantikan menggigit bibir Elissa yang merah muda itu. Andrew melirik kearah buku Elissa dan melihat coretan-coretan tak jelas di buku tersebut. Lalu Andrew sadar akan satu fakta yang baru diketahuinya. Andrew tertawa kecil. Ternyata gadisnya bukan gadis yang pintar.


***
Tbc.

Promise To The Moon - Heartbeat


Sepasang mata biru milik pemuda itu terus memperhatikan dengan tajam gadis yang berdiri gugup didepan kelasnya. Dia menghirup aroma memabukkan yang ada disekelilingnya ketika gadis itu memasuki kelas ini. Dengan sekuat tenaga dia menekan keinginan kuat untuk menarik gadis tersebut ke dalam pelukannya. Mengelus rambut coklat panjang indahnya yang tergerai lembut, menyentuh pipinya yang memerah, mengecup keningnya, pipinya, hidungnya, dan... bibirnya. Dia yakin bibir merah muda itu pasti terasa manis.

Kemudian pemuda itu menggeram. Geraman pelan yang keluar karena pikiran akan apa yang akan dia lakukan bersama gadisnya. Ya. Gadisnya, miliknya! Sekali lagi, geraman tidak sabar muncul keluar dari dirinya begitu melihat wajah gadisnya yang mendongak dan mata berwarna coklat yang begitu menenangkan.

“Tenanglah! Kita harus perlahan! Dia akan takut jika kita berbuat gegabah!”

Pemuda itu tersenyum tipis. Namun, tekad kuat terpancar di matanya. Gadis itu miliknya. Elissa Andromeda milik Andrew Alexander!

***

Benar apa yang dikatakan Flo tadi. Mereka begitu berbeda. Ada aura menakjubkan yang membuat nyali Elissa menciut. Mereka menawan dengan cara yang tak bisa Elissa jelaskan. Elissa seperti gadis gembel dan kumal jika ada di kelas ini. Elissa menghirup napas panjang dan mulai memperkenalkan diri. “Namaku Elissa Andromeda. Kalian bisa memanggilku Elissa. Mohon bantuannya selama satu tahun ke depan.” Elissa tersenyum, mencoba menatap teman-teman sekelasnya dengan percaya diri agar tidak terlihat seperti gadis yang bisa di tindas. Elissa tidak mau menjadi objek penindasan di lingkungan sekolah barunya ini.

Hal yang dilakukan teman-teman sekelasnya setelah ia memperkenalkan dirinya membuat Elissa mengernyitkan kening bingung. Mereka menatap Elissa dengan takjub dan terperangah, bahkan ada gadis yang duduk di kursi paling belakang memekik pelan. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena sedetik kemudian mereka menundukan kepalanya menghindari tatapan Elissa. Elissa mencoba menatap satu persatu teman-teman sekelasnya, tapi tidak ada yang balas menatapnya. Kerutan di kening Elissa semakin dalam. Lalu, Elissa tersentak begitu menyadari teman-teman sekelasnya ini sudah menunjukan tanda-tanda tidak mau berteman dengannya. Elissa mencoba menahan raut wajahnya agar tidak terlihat menyedihkan.

Mata Elissa menatap kearah pemuda yang duduk di kursi pojok kanan paling belakang. Jantung Elissa secara tiba-tiba berdetak cepat tidak beraturan. Elissa menahan napas menatap pemuda tertampan yang pernah Elissa lihat sepanjang 17 tahun hidupnya. Pemuda tampan itu balas menatapnya dengan tajam, pemuda itu tidak menunduk atau mengalihkan pandangannya ketika Elissa memandangnya. Tapi tatapan mata itu membuat Elissa bertanya-tanya dengan sedih, apa pemuda itu tidak menyukai dirinya? Elissa gagal menahan raut wajahnya. Dia pasti terlihat menyedihkan.

***

Andrew tersentak begitu melihat raut wajah Elissa. Apa yang membuatmu menunjukan raut wajah sedih seperti itu, sayang? Andrew sangat ingin membawa gadisnya ke dalam pelukannya dan mengatakan tidak ada yang perlu ia khawatirkan di dunia ini. Andrew akan menjaganya sekuat tenaga dan memberikan apapun yang gadis itu inginkan.

“Apa yang terjadi dengannya, Andrew?” Sebuah pertanyaan menyeruak ke dalam pikirannya.

“Aku pun tak tahu.” Jawab Andrew.

“Apa kau tak bisa menenangkannya? Dia tidak boleh mempunyai raut wajah seperti itu!” Ucap suara itu diikuti dengan geraman mengerikan.

“Kita tidak bisa melakukan hal itu. Ingat Jaxon kita harus perlahan!” Suara Andrew mengingatkan kepada seseorang bernama Jaxon.

“Hah! Sial kau Andrew!” Jaxon tidak bisa membantah lagi, karena apa yang Andrew ucapkan benar. Mereka tidak bisa begitu saja langsung mengklaim milik mereka. Gadis mereka akan ketakutan.

“Kau bisa duduk dengan Andrew Alexander, Elissa. Di sana tempat duduknya.” Ucap Mr. Davis sambil menunjuk tempat duduk Andrew.

Andrew berdiri dari tempat duduknya dengan perlahan, memberi tanda kepada gadis itu untuk duduk di dekat dinding. Matanya menatap Elissa dengan intens. Dan jantungnya berdetak semakin cepat seiring langkah kaki Elissa yang perlahan mendekat kepadanya. Aroma tubuhnya semakin memabukkan. Membuat Andrew gila. Dia mengepalkan telapak tangannya dengan erat.

Andrew bisa merasakan rasa penasaran, takjub dan bahagia dari teman-teman kelasnya. Penasaran apa yang akan dirinya lakukan terhadap gadis ini. Dan rasa takjub juga bahagia karena pada akhirnya mereka bisa bertemu dengan gadis ini. Ya, euforia kebahagiaan bukan hanya dirasakan oleh Andrew dan Jaxon saja, tapi juga dirasakan oleh teman-temannya. Sudah lama Andrew, Jaxon, dan orang-orang yang ada dikelas ini menanti kehadiran Elissa.

Elissa berhenti tepat didekat meja mereka. Andrew bisa merasakan kegugupannya. Gadis itu menatap Andrew sebentar, lalu menunduk lagi. Andrew bisa melihat rona merah muda yang menjalar di pipinya. Gadisnya begitu manis.

“Aku tak tahan, Andrew! Dia begitu memabukkan!” Jaxon menyela pikiran Andrew secara tiba-tiba.

“Kumohon tenanglah, Jaxon!” Suara Andrew memperingati Jaxon.

“Aku benar-benar bahagia, Andrew! Dia menatapku! Mate-ku menatapku!” Ucapan Jaxon membuat Andrew mengangkat alisnya.

“Bro, sekedar mengingatkan kalau kau lupa. Dia menatapku, bukan kau.” Andrew berkata penuh kemenangan.

“Brengsek kau!” Ucap Jaxon kesal.

Andrew memundurkan kursinya mempersilahkan Elissa duduk. Gadis itu duduk di kursinya dengan ragu. Andrew kembali duduk di kursinya sambil menenangkan dirinya untuk tidak mendekap gadisnya erat-erat.

“Baiklah kita mulai pelajaran kita.” Mr. Davis berkata sambil mulai menulis di papan tulis.

Andrew membuka buku catatannya sambil terus menenangkan dirinya dan juga Jaxon. Lalu tanpa diduga Andrew, Elissa menepuk buku catatan Andrew. Andrew tersentak kaget. Dan dia mengalihkan pandangannya ke wajah gadis itu.

“Aku Elissa. Mmm... aku tahu kau Andrew. Aku hanya ingin bilang senang mengenalmu.” Gadis itu berkata dengan terbata-bata. Membuat Andrew menghirup napas panjang. Kesalahan fatal! Aroma gadis ini justru membuatnya semakin sulit menenangkan diri. Andrew menatap gadis ini dengan tajam. Oh sayang, aku yang paling senang bisa mengenalmu. Kau tak tahu betapa tersiksanya aku selama seminggu ini. Ditatap seperti itu membuat gadis itu menunduk membolak-balik lembar buku tulis dengan canggung.

“Senang mengenalmu juga, Elissa.” Jawab Andrew dengan suara pelan setelah sadar tatapannya membuat gadis itu takut.

Elissa mendongakkan wajahnya. Mulutnya ternganga sedikit membuat Andrew bertanya-tanya bagaimana rasanya jika bibirnya mengecup... Brengsek! Jangan berpikir macam-macam Andrew! Hal yang terjadi selanjutnya membuat Andrew ingin mengerang frustasi. Elissa tersenyum manis kearah Andrew. Membuat jantung Andrew seakan berhenti berdetak. Andrew mengenggam pulpennya dengan erat. Kemudian dengan cepat Andrew menunduk mengalihkan pandangan dari Elissa, menggertakan giginya, pulpen yang digenggamnya patah, dan suara geraman Jaxon terdengar.

***

Elissa terkejut mendengar suara geraman yang keluar dari Andrew. Geraman yang cukup menakutkan. Apa ada yang salah? Cepat-cepat dia mengalihkan perhatiannya ke papan tulis. Elissa seperti mendapat jackpot begitu Mr. Davis menyuruhnya duduk disamping pemuda tampan ini. Andrew Alexander. Bahkan hanya dengan menyebut namanya, jantungnya Elissa berdetak kencang. Entah mengapa dia begitu bahagia bisa berada sedekat ini dengan Andrew. Tapi Elissa rasa, Andrew tidak merasakan hal yang sama terhadapnya. Tentu saja, apa yang Elissa harapkan dari pemuda super tampan seperti Andrew. Elissa mendesah pelan dan berusaha memfokuskan dirinya terhadap apa yang dijelaskan Mr. Davis.

***

Elissa memejamkan mata frustasi. Dia yang bodoh akan semakin bodoh jika Mr. Davis mengajar dengan cara seperti itu. Beliau menyampaikan dengan singkat dan cepat. Hanya rumus inti saja. Tanpa menjelaskan dengan detail bagaimana hasil dari contoh soal didapatkan. Fokus beliau adalah papan tulis. Mr. Davis sama sekali tidak pernah melirik lama kearah kami.

Elissa melirik kearah Andrew, lalu melihat teman-teman kelasnya dengan cepat. Dia rasa, hanya dia yang seperti ini. Teman-teman sekelasnya tidak ada yang menunjukan ekspresi kalau dia bernasib sama dengan Elissa. Elissa mendengus sinis. Tentu saja, ini kelas A. Elissa saja yang entah bagaimana mendapatkan kelas ini. Sekarang Elissa bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, haruskah dia tertawa bahagia bisa mendapatkan kelas unggulan yang otak anak-anaknya diatas rata-rata ataukah dia harus menangis tersedu-sedu karena justru dengan dia berada dikelas ini dia akan menjadi semakin bodoh.

Elissa duduk ditempatnya dengan gusar. Dia berdoa didalam hati berharap Mr. Davis selesai mengajar. Dari tadi beliau menulis rumus terus-menerus yang Elissa yakin beliau sudah mengajar satu bab. Satu bab yang tidak berarti untuk Elissa. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang diajarkan Mr. Davis. Yang dia tangkap dari pelajaran matematika ini adalah huruf x dan y yang terus saja diulang-ulang. Untuk pertama kalinya, Elissa berharap waktu istirahat cepat datang. Elissa memang anak yang tidak pintar di sekolahnya dulu. Tapi dia bukan anak yang ingin cepat-cepat istirahat. Dia mengikuti pelajarannya dengan baik. Dan dia betah berada dikelasnya. Tidak seperti ini.

Teng. Teng. Teng.

Posisi duduk Elissa yang tadinya lemas langsung berubah tegap. Tadi dia mendengar suara seperti lonceng. Apa sudah masuk waktu istirahat? Elissa mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas. Sepertinya bukan. Teman-teman sekelasnya tidak ada yang bersorak gembira atau membuat gerakan lainnya. Kelas ini masih sama seperti pagi hari, sunyi, sepi, tenang, dan membuat Elissa tidak nyaman.

“Baiklah kalian boleh beristirahat. Jangan lupa kerjakan tugas kalian. Kumpulkan lusa.” Mr. Davis berkata sambil melangkah keluar kelas. Ucapan Mr. Davis tadi menjawab pertanyaan Elissa.

Setelah Mr. Davis sudah tidak ada dikelas. Elissa mengedarkan pandangannya lagi ke sekeliling kelas. Masih sepi. Hanya ada suara bisik-bisik beberapa anak yang mengobrol. Elissa menggigit bibirnya frustasi. Apa orang-orang pintar tidak butuh makanan? Mengapa mereka tidak cepat-cepat pergi keluar kelas untuk ke kantin? Elissa tidak mungkin berdiri duluan dan keluar kelas sendiri. Sepertinya tidak ada satu pun anak kelas A yang berniat keluar kelas. Elissa mengerang pelan. Dia ingin menghampiri Flo dan mengajaknya ke kantin. Sampai saat ini hanya Flo yang membuatnya nyaman.

Elissa melirik Andrew yang sedang membaca buku catatannya. Apa dia harus bertanya pada Andrew? Tapi bagaimana memulainya? Elissa memejamkan matanya dan mengangguk untuk meyakinkan dirinya bertanya pada Andrew. Dia tidak mau kelaparan di hari pertamanya sekolah di sini.

“Andrew?” Panggil Elissa dengan berbisik pelan.

Andrew mengalihkan pandangannya dari buku catatan kearah Elissa. Menatapnya dengan tatapan bertanya.

“Apa kau tidak ke kantin?” Tanya Elissa ragu. Andrew mengernyitkan keningnya.

Aduh. Apa Elissa salah bicara? “Mmm... maksudku apa kau tidak menggunakan waktu istirahatmu untuk keluar kelas? Ke perpustakaan?” Nah. Itu mungkin pertanyaan yang lebih masuk akal untuk ditanyakan kepada murid pintar.

Mata Andrew yang tadinya menatap Elissa bingung, kini berubah tajam. Elissa terkejut dan refleks memundurkan dirinya ke dinding kelas. Elissa sedikit ketakutan karena dia melihat ada rasa marah di mata Andrew. Apa Elissa mengganggunya?

***

“Brengsek kau, Andrew! Dia manusia biasa! Dia pasti lapar!” Jaxon membentak Andrew marah.

Ya, Andrew memang pantas mendapatkan amarah Jaxon. Dia terlalu egois. Duduk dengan nyaman di kursinya, mencuri-mencuri pandang kearah Elissa, menghirup aroma tubuhnya yang memabukkan, menikmati kebahagiaan yang hinggap dihatinya selama Ethan menjelaskan pelajaran tadi. Hingga dia tidak mempedulikan bel istirahat yang berbunyi, menikmati rasa nyamannya duduk berdua dengan Elissa. Tapi ternyata dia melupakan hal yang penting untuk gadisnya. Gadisnya butuh makanan, dia lapar! Dan Andrew justru membuat Elissa tidak bisa pergi ke kantin. Gadisnya pasti malu berjalan keluar dari kelas sendirian, karena tidak ada satu pun anak kelas ini yang keluar kelas. Dan penyebabnya adalah Andrew! Teman-teman sekelasnya tidak akan berani keluar dari kelas ini kalau Andrew tidak keluar terlebih dahulu. Mereka semua akan selalu berada di belakang Andrew.

Amarahnya timbul begitu mengetahui dialah yang membuat gadisnya kesusahan. Andrew marah dan kecewa kepada dirinya sendiri. Mengapa dia begitu egois mementingkan kesenangannya sendiri? Andrew berusaha menenangkan perasaannya, tapi Jaxon tidak dapat menahan amarahnya yang meledak-ledak. Hingga amarah itu keluar dari dirinya membuat gadisnya mundur ketakutan.

“Sialan kau, Jaxon! Aku tahu aku salah, tapi kau juga tidak mengingatkanku! Kau harus tenang! Kau membuatnya takut, bodoh!” Ucapan Andrew menyadarkan Jaxon kalau amarahnya tadi membuat Elissa ketakutan.

“Bantu aku menahan amarah ini, Andrew! Aku tidak mau menakuti gadisku.” Jaxon berkata sambil menggertakan giginya.

“Pergilah, Jaxon.”

Andrew memejamkan matanya cukup lama, menghirup napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Dia harus bisa menenangkan dirinya dan Jaxon. Hal yang sulit karena Jaxon begitu marah dan kecewa pada dirinya dan Andrew.

Andrew membuka matanya dan melihat gadisnya menatap penasaran kearahnya. Tapi Andrew bisa bernapas lega karena gadisnya sudah tidak ketakutan lagi terhadapnya.

“Aku akan ke kantin.” Ucap Andrew datar. Dia masih berusaha menekan amarahnya.

“Brayden.” Andrew memanggil salah satu anggota kelompoknya.

“Alpha.” Brayden membalas panggilan Andrew. Alpha. Andrew memang Alpha dikelompoknya.

“Berdirilah. Pergi ke kantin denganku. Beritahu kepada yang lain untuk keluar dari kelas. Kalian terlalu kaku. Membuat Elissa tidak nyaman.” Perintah Andrew.

“Maafkan kami, Alpha. Saya akan memberi tahu kepada yang lain.” Balas Brayden menyanggupi perintah Andrew.

Andrew memutus percakapan dengan Brayden melalui mindlink. Ya, bukan hanya dengan Jaxon saja Andrew bisa berbicara lewat pikiran, tapi juga dengan anggota kelompoknya. Brayden adalah Beta-nya. Wakilnya. Tangan kanannya. Orang yang masuk ke dalam daftar orang yang dipercayainya.

Andrew melihat beberapa anak mulai berdiri, termasuk Brayden. Beberapa dari mereka sudah mulai berjalan ke luar kelas. Andrew melihat Nick berdiri di meja sampingnya, menunggunya berdiri.

Ah, Andrew lupa sesuatu. Gadis itu pasti belum memiliki teman. Dan mungkin saja, dia tak akan mendapatkan teman. Anak-anak kelas A terlalu hormat kepada Elissa untuk mengajaknya berkenalan. Anak-anak kelas B dan C pasti tidak berani mendekati gadisnya. Dan anak-anak kelas D dan E terlalu rendah diri untuk bergaul dengan anak-anak kelas A, dan Andrew yakin manusia punya insting kuat untuk perlindungan diri. Jadi menurut Andrew, anak-anak kelas D dan E yang menghindari anak-anak kelas A adalah anak-anak yang pintar. Walau masih ada yang tidak tahu diri dan tidak mempunyai malu mencoba menjadi bagian dari anak-anak kelas A, padahal mereka benar-benar tidak pantas.


Andrew tidak mau gadisnya merasa tidak nyaman di sekolah ini. Walaupun Andrew tahu, rasa ketidaknyamanan sudah menghampiri gadis ini ketika berdiri di gerbang sekolah tadi. Andrew berdiri perlahan. Lalu menatap mata Elissa dengan tajam sambil mengulurkan tangannya, “Ayo ikut denganku ke kantin, Elissa.”

***
Tbc.